Senin, 04 November 2013

Tahun Baru 1435 H, Momentum Hijrah, Renungan Spiritual di Akhir Tahun

-IGCurup- Detik berganti, sembari mengantarkan 1434 H ke penghujung tahun. Dzikir akbar di mana-mana, Istighosah dan Muhasabah membahana. Tak ketinggalan, pengajian dan agenda mabitpun bertebaran. Tak ada yang salah dengan fenomena ini. Ada maslahah mursalah di sana. Mengingatkan manusia bahwasanya waktu terus berputar, dunia menua dan akhiratpun semakin mendekat. Lekat.

Namun semestinya, bukan hanya di momen pergantian tahun ini kita merefleksikan hidup kita, untuk apa usia kita habiskan, kegiatan apa yang kita gunakan untuk mengisi waktu luang dan sejauh mana perintah Yang Maha Rahman telah kita kerjakan. 

Untuk saat ini mari kita sejenak renungkan hari-hari yang telah kita lalui.

Mari sama-sama kita simak tulisan dari Syaikh Aidh Al Qarni, mengenai hal ini;

  •   Tahukah anda bahwa diatas kepala Rasulullah Saw pernah diletakan isi perut hewan, kedua tumitnya berdarah, gigi serinya dirontokan, kepalanya terluka, dan orang-orang yang disayanginya terbunuh? Beliau mengikat perutnya  dan mengganjalnya  dengan batu karena kelaparan, mengalami kekalahan dalam sebagian peperangan, lambungnya yang suci tidak luput dari cobaan, pernah disekap, pernah mendengar cacian dikedua telinganya, melihat dengan mata kepala sendiri berbagai tipu muslihat yang ditujukan kepada dirinya, diusir dari kampung halamannya dan  dituduh gila, tukang sihir dan tukang ramal
  •  Tahukan anda Umar r.a di tusuk dimihrab dan tubuhnya dirobek dengan tombak kecil. Usman r.a darahnya mengalir membasahi mushaf yang dibacanya karena pedang pemberontak, saat itu ia berusia 80 tahun. Adapun Ali r.a dipukul pelipisnya dengan pedang oleh orang Khawarij,  darah mengalir  membasahi jenggotnya.
  •  Tidakkah anda tahu bahwa Ahmad bin Hanbal dijebloskan kedalam penjara, dicambuk dengan cambuk yang melukai, dilarang mengajar, dan ditakut-takuti akan dibunuh. Ibnu Taimiyah dijebloskan kedalam penjara.  Darahnya dialirkan, kehormatannya dilecehkan,  dan  agamanya  dicurigai.
Itulah sekelumit perjuangan pendahulu, dan kita yang duduk di masjid ini, atau di rumah tentunya tidak akan mengalami seperti apa yang digambarkan diatas. Namun demikian perjuangan menegakkan kalimah Allah tidak pernah terputus karena musuh-musuh Allah baik dalam bentuk jin dan manusia terus bergerak secara dinamis mengikuti dinamika umat.  Makin kuat komitmen terhadap kalimah “laa illaha ilallah”, maka makin kuat pula tekanan yang diberikan oleh musuh-musuh Allah. Ini adalah sunatullah. Sebaliknya, lemahnya kalimah “laa illaha ilallah” lemah pula tekanan yang diberikan, karena bercampurnya antara ketauhidan dengan syirik, ketaatan dan kemunafikan, semuanya menjadi kabur maka bersukarialah para musuh Allah karena tujuannya tercapai.
Oleh karena itu momen perenungan harus diikuti dengan instropeksi terhadap diri masing. Jika kita simak peringatan Allah Swt :
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
 (Qs Al Hasyr : 18).
Ini bermakna, hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah, dan lihatlah apa yang telah kamu tabung untuk diri-diri kamu, berupa amal-amal saleh, untuk hari di mana kamu akan kembali berhadapan dengan Tuhan-mu (tafsir Ibnu Katsir). Sudah menjadi kebiasaan setiap peringatan hijrah para khatib selalu mengingatkan umat untuk melakukan instropeksi demikian juga  berbagai tulisan mimbar Jum’at di media cetak  mempunyai anjuran yang sama. Tetapi jika kita mau merenung lebih jauh lagi sebenarnya untuk memeriksa diri (muhasabah)  tidak perlu sampai akhir tahun tetapi setiap waktu sholat kewaktu sholat adalah proses memeriksa diri. Bukankah setiap shalat kita mengucapkan kalimat istighfar yaitu mohon ampun dan bertobat. Allah Swt berfirman
“dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang yang beriman supaya kamu beruntung.  (Qs An Nur : 31).
 Taubat ialah meninjau perbuatan dengan menyelesalinya setelah dikerjakan. Umar r.a memberi contoh,  ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut  seraya berkata kepada dirinya, “apakah yang telah kamu perbuat hari ini.” Dengan penjelasan ini, maka moment peringatan hijrah merupakan instropeksi tahunan disamping instropeksi harian yang muaranya membentuk umat yang benar-benar bertaubat dan selalu mawas diri.Ibnu Qayyim Al Jauziyyah da-lam bukunya “Melumpuhkan   Syetan” memberi tuntunan untuk memeriksa diri  sebagai berikut :
  • Hendaknya ia menghisab dirinya dalam hal-hal yang wajib, jika ia ingat ada yang ditinggalkan maka ia harus menyusulnya, baik dengan qadha atau dengan perbaikan.
  • Hendaknya ia menghisab dirinya dalam hal-hal yang dilarang. Jika ia mengetahui ada sesuatu yang dilanggar maka hendaknya ia segera menyusulnya dengan taubat, istighfar dan berbagai kebaikan yang menghapus dosa.
  • Hendaknya ia menghisab atas kelalaian dirinya. Jika ia lengah tentang untuk apa ia kerjakan maka hen-daknya ia menyusulnya dengan dzikir, menghadap kepada Allah.
  • Hendaknya ia menghisab apa yang telah dibicarakan, atau kemana kakinya melangkah, atau apa yang di-ambil oleh kedua tangannya, atau apa yang di dengar oleh kedua telinganya. Semuanya dihisab dengan tiga pertanyaan :
a.     untuk apa dilakukannya, 
b.     untuk siapa dan
c.      dasar apa dilakukan semua itu ?
Memeriksa diri bukan pekerjaan mudah, tetapi harus dilaksanakan bukan diremehkan,  jika tidak dilaksanakan akan menghantarkan seseorang kepada kehancuran. Dan itulah orang orang-orang yang terperdaya menutup mata dari segala akibat, menantang keadaan dan bersandar ha-nya pada ampunan.   Seandainya saja ia mengikuti kebenaran, niscaya ia akan tahu bahwa penjagaan nafsu lebih mudah dari pada meliarkannya.
Mudah-mudahan perenungan semangat hijrah ini menambah ketakwaan kita kepada Allah Swt . Amin
Wallahu ‘alam bish shawab (red)

Doa Kita untuk Mereka

“Sejak dulu kami menyepakati,” demikian tulis Imam Ahmad ibn Hambal, 

“jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

Tidak menghina orang baik, itu perkara yang wajar adanya. Akan tetapi, tidak menghina mereka yang (sedang) tergelincir dosa, butuh kesungguhan juga. Ini bukan pekerjaan sederhana. Betapa sering kita memperolok orang lain yang sedang terpeleset dan berperkara. Mengejek mereka sambil memicingkan sebelah mata. Alih-alih menginstrospeksi diri, kita malah menyibukkan diri untuk menjadikan mereka yang tergelincir dalam kekhilafan sebagai bahan gunjingan. Maka, sekali lagi, betapa sering kita dengan sikap jumawa mempertanyakan, “Kok bisa dia berbuat sekerdil itu?” Seakan kita merasa sangat yakin bahwa kita akan mampu melampaui ujian serupa. Sungguh, hanya kepada Allah kita memohon pada Allah agar mengistiqamahkan hati kita dalam ketaatan kepada-Nya.

Ketika seseorang menghina saudaranya yang tergelincir kedalam kesalahan, pada saat bersamaan ia sedang menggelincirkan diri pada kesalahan yang bersebab kesombongan. Jumawa bahwa dirinya lebih baik. Sungguh perkataan Sufyan bin Uyainah patut kita renungkan. 

“Siapa yang kemaksiatannya terletak pada syahwat, maka taubat bisa diharapkan darinya. Sebab Adam a.s. bermaksiat karena keinginan syahwat, ia bertaubat lalu diampuni. Sementara jika kemaksiatannya terletak pada kibr (kesombongan), maka aku khawatir ia sebagai orang yang dilaknat. Iblis bermaksiat karena kesombongan karenanya ia dilaknat.” 

Begitulah yang terjadi, ketika seseorang menghina saudaranya yang tertimpa kesalahan, ia sendiri tidak menyadari bahwa penghinaan yang dilakukannya adalah kesalahan yang lebih parah. Apa yang diperoleh dari menghina? Pahala dari Allah berupa jaminan surgakah? Atau bertumpuknya keburukan dan kehinaan diri? Alangkah indah manakala kita bersibuk menelisik diri daripada menguliti saudara sendiri.

Suatu hari Sufyan bin Al-Hashin duduk berbincang dengan Iyas bin Mu’awiyah. Ketika melintas seorang anak muda, Sufyan menuturkan keburukan anak muda itu. Iyas bin Mu’awiyah lalu mencergahnya dan mengatakan, 

“Diamlah wahai Sufyan, apakah engkau pernah terlibat dalam pertempuran melawan Romawi?” Sufyan menjawab tidak pernah. Kembali Iyas bin Mu’awiyah bertanya pada Sufyan bin Al-Hashin. “Kalau begitu pernahkah engkau ikut dalam perang melawan pasukan Tatar?” Kembali Sufyan menjawab tidak sambil menggelengkan kepala. “Orang Romawi dan orang Tatar selamat dari keburukan lisanmu,” demikian kata Iyas bin Mu’awiyah, “tapi, seorang Muslim cedera karena lisanmu!” 

Sungguh ada banyak hal yang patut dibanahi dari diri kita hari-hari ini. Ketika media mempermudah jangkauan untuk mengetahui ruang-ruang pribadi seseorang, seringkali kita menjadi latah untuk mengomentari. Kita pun menjadi tak sadar sedang digiring ke arah tradisi pergunjingan yang tiada manfaat. Kita mendadak menjadi gampang mencela dan mudah dibuat kecewa pada hal-hal yang tidak terlalu penting. Betapa hal-hal demikian sangat menguras energi dan mudah membelokkan orientasi; dari semangat beramal ke arah hasrat pergunjingan. Na’udzubiLlahi min dzalik.

Alangkah menusuk nasihat Ibnu Athaillah As-Sakandary. 

“Betapa banyak kemaksiatan yang mewariskan rasa hina dan rendah di hadapan Allah ta’ala,” tuturnya. Beliau lalu melanjutkan, “Sungguh, itu lebih baik dari ketaatan yang mewariskan sikap merasa mulia dan sombong.” 

Begitulah kearifan sikap dinasihatkan pada kita. Agama ini melarang seseorang untuk mencaci dan menghina orang yang melakukan kesalahan. Pada yang berdosa saja kita tak boleh mencelanya, apalagi pada mereka yang kesalahannya belum diputuskan benar tidaknya. Puncak tertinggi dari masyarakat Muslim adalah menegakkan hukum sesuai yang dituntukan Allah, dan bukan menyibukkannya dengan cacian dan hinaan. 

Bukankah kita tak mengetahui jalan cerita kehidupan seseorang? Bukankah telah bertabur banyak tauladan, mereka yang pernah tergelincir dalam kekhilafan ternyata mampu menuntaskan kehidupannya dalam kebaikan. Yunus pernah terjerat khilaf. Ketika ia berdakwah di Ninawa dan yang ia temukan hanyalah pembangkangan. Hilanglah sabarnya. Ia pergi meninggalkan Ninawa sebelum diperintakan-Nya. Sang Nabi ‘mutung’. Lalu, ia ditelan ikan. Setelahnya ia menginsyafi seluruh kesalahannya dengan doa (Qs. al-Anbiyaa’ [21]: 87). Ia tak lagi dalam hina. Yunus bertabur kemuliaan. Kisah hidupnya menjadi teladan, maka Quran mengisahkan.

Sungguh, tak akan terhina orang yang dimuliakan Allah karena taubatnya setelah khilaf. Tak akan mulia orang yang dihinakan Allah bersebab jumawa yang ditempuhnya dalam taat.

Pada mereka yang keluarganya sedang didera ujian, doakan semoga lekas terurai masalah. Jangan memperolok dan menghinakannya. Kita tak berharap ujian serupa ditimpakan atas diri kita. Begitu pula pada mereka yang gagal menghadapi ujian kehidupan dari Allah, kita panjatkan doa agar Allah menyayangi mereka yang berusaha memperbaiki diri. Berdoa pula agar kita istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya, lalu menuntaskan tugas hidup kita dengan khusnul khatimah.

Sabtu, 02 November 2013

Himmah (Cita) Seorang Da'i


Secara bahasa himmah biasa diartikan cita-cita. Namun bila kita dalami dan kita selami maknanya, ia bisa berarti sesuatu yang senantiasa hangat dan ada dalam pikiran kita. 

Di siang hari, ia senantiasa dipikirkan, di malam hari, ia terus diimpikan. Ia terus ada dan menyatu dengan jiwa, kemanapun pergi, ia selalu di bawa. Dimanapun berdiam, ia tidak lantas tiada. Ia terus mewarnai setiap langkah dan gerak, atau istilah shufi-nya: ia selalu muncul dalam setiap sakanat dan harakat kita.

Himmah juga mempunyai keterkaitan dengan kata hamm yang bentuk jamak (plural)-nya adalah humum yang secara mudah biasa diterjemahkan: kesedihan. Ia memang demikian, artinya: seseorang yang mempunyai himmah sesuatu, ia akan terus merasa sedih dan tidak akan (bahkan tidak mau) mengecap sedikit kebahagiaan manakala apa yang menjadi himmah-nya itu belum kesampaian. Dan puncak kebahagiaannya adalah saat ia berhasil mewujudkan apa yang menjadi himmah-nya itu.

Bila da'wah telah kita definisikan sebaai upaya untuk mempengaruhi, dan mengajak mad-'u ke jalan Allah swt, jalan Islam, jalan nabi Muhammad saw, maka himmah seorang da'i bisa kita artikan sebagai kesedihan sang da'i dan ke-"tidak-mauannya" untuk mengecap sedikitpun kebahagiaan manakala belum berhasil membawa seorang manusiapun kepada jalan hidayah, jalan Allah swt, jalan para nabi, shiddiiqin, syuhada' dan shalihin. Ia baru merasa puas, bahagia, dan gembira manakala telah berhasil menjadi penyebab terhidayahinya seorang manusia untuk memeluk Islam, hidup dengannya dan mati dengan tetap menyandang predikat muslim.

Namun, sebagai seorang muslim yang menyadari perannya sebagai ujung tombak khaira ummatin ukhrijat linnaas, yang salah satu karakternya adalah ta'muruuna bil ma'ruuf watanhauna 'anil munkar, himmah sang da'i itu tidak berhenti manakala telah sukses menjadi penyebab terhidayahinya satu orang. Himmah itu akan kembali muncul dalam dirinya dan akan terus muncul sehingga ia kembali kepada Allah swt.
Himmah seperti ini telah digambarkan oleh beberapa kisah yang ada di dalam Al Qur'an.

Diantaranya adalah kisah burung Hud-Hud-nya nabi Sulaiman 'alaihis-salam.
Al Qur'an menceritakan bahwa burung yang kecil itu, yang tidak mampu terbang jauh, telah melakukan perjalanan yang sangat jauh, dari Palestina (negeri nabi Sulaiman 'alaihis-salam) ke negeri Saba' di Yaman (negerinya ratu Bilqis). Ia telah lalui hamparan padang pasir yang sangat luas, yang tidak mungkin berani melampauinya kecuali ash-habul himam al 'aaliyyah (pemilih himmah tinggi). Jangankan seekor burung Hud-Hud, manusia saja ngeper dan berpikir berkali kali untuk mengarunginya. Bukankah yang akan dilewatinya adalah padang pasir, yang sangat panas, sedikit air, sedikit makanan, dan kekerasan-kekerasan alam lainnya. Namun dengan semangat membaja, sang burung kecil itu melakukan perjalanan sejauh itu, dengan satu tujuan: memberi informasi kepada nabi Sulaiman 'alaihis-salam tentang negeri-negeri lain, yang bisa jadi, ia akan menjadi penyebab berimannya penduduk negeri itu.

Karena jaraknya yang sangat jauh, dan tentunya membutuhkan waktu lama untuk menempuhnya, maka sang burung itu absen dan tidak menghadiri majlis nabi Sulaiman 'alaihis-salam dalam waktu yang cukup lama. Dan karena absen terlalu lama, ketidakmunculannya itu menjadi tanda tanya nabi Sulaiman 'alaihis-salam.
Singkat cerita, akhirnya sang burung kecil itu muncul juga dan menyampaikan informasi yang didapatnya.
Untuk membuktikan kebenaran informasinya, sang burung mesti terbang ke negeri itu sekali lagi. Sungguh, himmah yang luar biasa. Dan tidak sia-sia, penduduk negeri Saba' itu akhirnya tunduk kepada nabi Sulaiman dan meninggalkan kemusyrikannya.
(Lihat kisah lengkapnya di QS An-Naml [27]: 16 – 44).

Ada lagi cerita lain yang tidak kalah menariknya. Kisah seorang lelaki, ya ... seorang lelaki, yang tidak dikenal, bahasa Al Qur'annya: Rojulun, yang datang dari aqshal madinah (wilayah kota yang paling ujung, paling jauh), yang datang dengan yas'a (berlari) demi memberikan pembelaan kepada rasul-rasul Allah swt. Dan karena pembelaannya itu ia dibunuh oleh kaumnya.

Di alam akhiratnya, ia merasakan betapa besar kenikmatan yang didapatkannya dari Allah swt. Lelaki yang dibunuh oleh kaumnya ini masih mengingat kaumnya, bukan dalam rangkan dendam, akan tetapi ... ungkapan empatinya yang sangat dalam kepada kaumnya, namun sayang, kaumnya tidak mengetahuinya. SubhanaLlah, sudah meninggal dunia, sudah di alam lain, himmah-nya sebagai da'i tidak padam juga. Sehingga meluncurlah kata-kata dari lisannya: ya laita qaumi ya'lamuun. Bima ghofaro li robbi wa ja'alani minal mukromin.
(kisah lengkapnya silahkan lihat di QS Yaa siin [36]: 13 – 30).

Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah ...
Masyarakat kita mayoritas adalah masyarakat muslim, diantara mereka ada yang membutuhkan tastsbit (pengokohan), dzikro (pengingatan), nasehat dan semacamnya. Untuk menjalankan tugas-tugas ini, sangat-sangat dibutuhkan adanya orang-orang yang memiliki himmah 'aaliyyah (himmah yang sangat tinggi), karenanya, asahlah himmah kita, barangkali akan ada satu dua orang yang terhidayahinya kepada jalan Islam, jalan Allah swt, dan kitapun akan mengenyam besarnya ganjaran Allah swt di akhirat nanti insya Allah. Amiiien.

Ust. Musyafa Ahmad Rahim, MA

Kamis, 11 Juli 2013

-IGCC- Ibadah Ramadhan ternyata bukan  penghalang bagi sebagian pesepakbola profesional. Kolo Habib Toure, pemain asal Pantai Gading menyatakan kegiatannya tak berbeda saat menjalani ibadah puasa.
Pemain yang kini merumput bersama Liverpool itu mengungkapkan, menjalankan ibadah puasa menguatkan mentalnya. Dan dia menyambut gembira datangnya bulan Ramadan.
Dalam wawancaranya dengan laman resmi klub di Melwood, Toure menyampaikan pentingnya arti puasa bagi dirinya. Ia menyatakan memperoleh banyak manfaat  dengan puasa.
“Anda diwajibkan tidak makan dan minum di siang hari selama 30 hari, mulai dari jam tiga pagi hingga sepuluh malam. Di waktu ini, Anda tidak bisa makan atau minum. Setelah matahari terbenam, Anda baru boleh melakukannya,” ujar Toure.
Menurut Kolo, ia selalu berpuasa di bulan Ramadan sekalipun aktif di sepakbola.
“Tentu saja berat. Tapi ketika Anda percaya kepada Tuhan, tak ada yang tak mungkin,” tambah kakak kandung dari Yaya Toure ini.
Bek sentral yang pernah merumput di Arsenal dan Manchester City ini menambahkan, dengan menjalankan ibadah puasa, secara tidak langsung dirinya meningkatkan sikap displin, dan mengendalikan mental. Ibadah ini juga tidak mengganggu program latihan yang diberikan klub.
“Anda butuh kedisiplinan. Bagi saya, lima hari pertama akan sulit, tapi setelah itu, tubuh sudah mulai beradaptasi, dan Anda merasakan kegembiraan. Bahkan Anda menjadi makin kuat setelah Ramadhan,” jelasnya.
Rencananya, selain tetap berpuasa selama Ramadan, pemain berusia 32 tahun ini juga ingin merayakan Idul Fitri bersama keluarganya di Liverpool, dan menyampaikan ucapan selamat kepada mereka yang menjalankan ibadah puasa.
“Saya akan merayakannya seperti halnya kaum muslim yang lain – bersama keluarga saya, istri dan anak-anak saya,” ucap Toure. [islamedia]

Di Denmark, Puasa Tahun Ini Hingga 21 Jam

-IGCC- Variasi jumlah jam puasa di bulan Ramadan di seluruh dunia tergantung pada wilayah geografis, dan itu akan menjadi Muslim di Eropa pada tahun ini adalah yang tertinggi dalam jumlah jam puasa, yang akan mencapai maksimal 21 jam di Denmark, sementara jam puasa paling sedikit adalah untuk Muslim Argentina 9 setengah jam.

Terlepas dari adanya fatwa dari Al-Azhar Al-Sharif yang memungkinkan negara-negara yang mencapai jam puasa tinggi untuk adopsi negara Muslim terdekat, umat Islam di Denmark sepakat untuk berpuasa dari mulai fajar hingga matahari terbenam (21 jam), seperti yang dinyatakan Hussein Ghiwan, dari Pusat Kebudayaan Islam Kopenhagen.

Jumlah jam puasa di Timur Tengah antara 14 dan 15 jam, seperti yang terjadi di Arab Saudi dan Yaman, tidak berbeda di Afrika Utara, di mana jumlah puasa jam sampai 14 jam di Libya dan Maroko, dan naik ke 16 setengah jam di Kairo, dan meningkat lagi jam puasa di Belanda dan Belgia 18 setengah jam, naik lagi jumlah jam puasa di Islandia 20 jam, dan untuk negara-negara seperti Brazil memiliki 11 jam sedang di Australia 10 jam.

Dan jam puasa tinggi ini bertepatan tahun ini dengan suhu tinggi, yang diperkirakan akan mencapai suhu di negara-negara Teluk hingga 50 derajat. [islamedia/nabdapp]
 
 

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...