O
leh: Abdul Fattah Munsyidun.
Matahari dhuha memantulkan sinarnya
melewati pohon-pohon rimbun seakan tahu bahwa di pesantren Ar Rahmah ini sedang
diadakan taujih bulanan. Langit pagi ini bertahta sangat cerah. Sementara itu
di lapangan pesantren seorang Ustadz berdiri berceramah di tengah-tengah jamaah
yang begitu antusias menyimak. Tema yang diangkat adalah zinah. Materi ini
merupakan materi lanjutan dari materi bulan lalu. Tetapi dengan analogi yang
pas, Sang Ustadz berhasil membungkus materi tersebut dengan sangat santun namun
tetap tegas.
Ustadz tersebut memang terkenal
dekat dengan santri.Walaupun usianya sudah berkepala lima, ia tak ketinggalan
zaman. Berita tentang video mesum vokalis band papan atas yang sempat heboh
beberapa waktu yang lalu pun diangkatnya dalam ceramah kali ini, yang pada
intinya mengingatkan bahwasanya jika manusia tidak mampu mengendalikan hawa
nafsunya, maka ia bisa lebih rendah dari hewan.
Tak terasa waktu satu jam berlalu
begitu cepat.
“Ya Allah. Engkaulah yang Maha
Menguasai hati kami. Bungkuslah selalu hati kami dengan cahaya hidayah-Mu.
Janganlah Engkau hancurkan kami dengan perangkap zinah ya Allah. Engkau telah
banyak memberi kami nikmat, maka sempurnakanlah nikmat itu dengan keridhoan-Mu
ya Rabb. Jangan tinggalkan kami disaat kami dalam masa-masa suli tmencari jati
diri kami. Tuntunlah selalu kami menjadi hamba yang shalih. Aamin Ya
Rabbal’alamiin.” Doa Sang Ustadz mengakhiri ceramahnya.
Ustadz Lukman, beliaulah orang yang
aku maksud. Pimpinan pondok pesantren ini. Sosok panutanku yang sangat kusegani
di pesantren ini. Dan akhir-akhir ini aku sangat ingin berbicara dengan beliau
karena ada hal penting yang ingin aku utarakan menyangkut materi ceramah
yang ia sampaikan. Namun karena
belakangan ini beliau sibuk aku jadi sulit untuk menemuinya, menurutku inilah
waktunya.
Pada saat istirahat, aku langsung
memanfaatkannya untuk mendekati Ustadz tersebut. Melihat sikapku yang terkesan
agresif, “pengawal” di sampingnya spontan bergerak seakan ingin mencegahku.
“Ono opo Sal? Mau cari gara-gara
lagi di sini?” Rahmat dengan logat jawanya bertanya sinis padaku.
Di lingkungan pesantren ini, kami
menggunakan bahasa Curup sebagai bahasa harian, namun karena suku kami
berbeda-beda, maka tak jarang bahasa selain Curup pun terdengar. Ada
orang Jawa, Rejang, Minang, Lembak, dan lain sebagainya. Sehingga ketika Jawa
berbicara dengan orang Jawa,mereka berbahasaJawa,begitu juga Rejang,
Minang,Lembak,dan lain sebagainya. Kecuali ketika pada hari bahasa, kami
diwajibkan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa arab. Kebetulan keluarga
Ustadz Lukman dan aku orang Jawa, maka ketika di luar hari bahasa, tak jarang
kami berbahasa jawa.
“Ndak, aku
hanya mau berbicara dengan Ustadz Lukman, bolehkan ?”
Ustadz
Lukman menganggukkan kepala.
“Maaf
Tadz, kayaknya ndak sopan kalo aku mengganggu Ustadz makan, saru.
Bisakah kita berbicara setelah makan berdua saja?”
“Ora iso!!
Abi sibuk, setelah ini beliau mau istirahat.” Potong Rahmat.
Ustadz
Lukman menatap putra sulungnya tersebut. Ia pun tertunduk, mungkin malu.
“Apakah
ada hal yang penting?” Tanya Ustadz Lukman kepadaku.
“Ss..
Sangat penting Tadz.” Tiba-tiba aku menjadi gugup.
“Baiklah,
temui saya setelah acara ini.” Kata Ustadz Lukman.
“Kenapa
Abi mau berbicara dengan orang seperti dia?”Rahmat kembali menunjukkan sikap
tidak sukanya kepadaku.
“Sepertinya
kamu ndak mau kalau Abi bertemu dengan dia,kenapa ?” Selidik Ustadz Lukman.
“Bukannya berprasangka buruk Bi,aku
tahu bagaimana sifat Faisal. Umurnya sudah dua puluh tahunan, tapi masih saja
berbuat maksiat, merokok, berantem,pokoknya yang buruk-buruk deh Bi. Masa Abi
ndak tau sama santrinya sendiri.”Komentar Ramat sambil melihatku sinis.
“Kamu ngomong ndak berprasangka
buruk, tapi dari tadi nadayang kamu ucapkan penuh kecurigaan.”
“Abi jangan salah paham dulu, Rahmat
cuma mau ngasih pelajaran aja ke dia. Dia itu playboy Bi, dengan wajahnya yang
kayak gitu, dia bisa memikat banyak santriwati di sini. Mendekati zinah juga
kan Bi?”
Aku menghela napas mencoba sabar.
Rahmat sangat menyebalkan. Mentang-mentang aku hanyalah penjaga kebun pesantren
ini, seenaknya saja ia menghinaku. Kalau saja Rahmat bukan anak dari pengasuh
pesantren ini,sudah ku tampar mulutnya.
Astaghfirullah!!
Aku tersadar. Mungkin ini ujian pertamaku untuk membuktikan bahwa aku
benar-benar ingin insyaf. Ya Allah. . . . .
“Tuh kan
kamu curiga lagi. Kamu tau banyak, memangnya kamu plototin terus heh? Ndak toh?
Kenapa kamu orangnya mudah su’uzhan sih? Abi ndak pernah ngajari kamu seperti
ini”. Ku lihat Ustadz Lukman bersikap bijak.
Ustadz
Lukman kemudian tersenyum seraya berkata kepadaku.”Mau bicara tentang apa?
Kira-kira lama ndak?”
“Lumayan
lama sih Tadz, aku mau cerita tentang masalah pribadiku”.
“Ya sudah,
nanti ba’da maghrib aja ya kamu temui saya di masjid, karena kalo sekarang saya
ndak bisa lama-lama. Kebetulan sudah ini saya ada tamu. Ndak apa-apa kan?”
“Baik Ustadz,
ndak apa-apa, maturnuwon.”
Aku pun
beranjak pergi meninggalkan Ustadz Lukman dengan perasaan lega dan kembali ke
kebun untuk menjalankan rutinitas utamaku di pesantren ini.
****
Qodqomatishholah QOdqomatisholah…
Allahuakbar Allahuakbar laila haillallah……
Kami semua menunaikan sholat
maghrib. Ustadz Lukman menjadi imam, kemudian memimpin zikir dan doa. Begitu
rutinitas maghrib selesai dilakukan, para santri kembali ke asrama karena hari
ini tidak ada acara muhadhoroh.
Aku langsung mendekati Ustadz Lukman,
eh ternyata si Rahmat juga. Mungkin dia mau mendengar apa yang ingin aku
bicarakan. Terserah, aku tak peduli.
“Ustadz, boleh kita bicara sekarang?”
“Oh ya, boleh. Berdua saja?” Ustadz Lukman berkata seraya melirik Rahmat.
“Ndak Tadz, kalo Rahmat mau ndengar
juga ndak apa-apa”. Ku lihat Rahmat jadi salah tingkah.
“Oh ya udah, monggo, tadi mau
ngomong apa?”
“Begini Tadz, saya ini orang yang
banyak dosa, saya mau dihukum. Sebenarnya sudah lama saya mau menyampaikan hal
ini kepada Ustadz, tapi belum ada kesempatan”. Aku memulai pembicaraan.
“Tunggu, tunggu. Kamu minta dihukum.
Saya saja belum tau apa salahmu yang mesti saya hukum. Coba jelaskan dulu, saya
mau dengar”.
“Terlalu banyak Tadz dan terlalu
besar, saya malu.Kalau Ustadz langsung menghukum saya tentu tidak akan malu da
saya siap menerima apaun hukuman dari Ustadz, yang jelas saya telah berbuat
dosa Tadz.”
Ustadz Lukman tersenyum, beliau tahu
bagaimana sepak terjangku sebelum masuk ke lingkungan pesantren ini.
Mudah-mudahan beliau masih memberikanku kesempatan untuk ku memperbaiki diri.
“Kenapa
malu? Apa kamu kira saya akan menceritakannya ke semua orang?”
“Bukan
begitu Tadz, tapi. . .”
“Mm..
Kalau begitu kamu bisa tetap merahasiakanya, jadi kamu ndak perlu dihukum.”
Gerakan
Ustadz Lukman yang seolah-olah akan berdiri membuatku menjadi kelabakan.
“Eh…Jangan
pergi dulu Tadz, kalau Ustadz pergi lantas siapa yang akan menghukum saya?’ Aku
mencoba menahannya.
“Apa yang
perlu saya hukum?” Lagi-lagi Ustadz Lukman membuatku merasa serba salah.
Suasana hening
sesaat. Rahmat hanya menyimak.
“Tapi
kalau saya ngomong apa adanya, tentu Ustadz akan menghukum saya,”
“InsyaAllah
ndak. Rasul aja ndak pernah marah walau kaum kafir quraisy sangat membencinya.
Difitnah, dilempari kotoran unta, bahkan diancamakan dibunuh Rasul tetap tidak
marah. Saya ndak lebih baik dari Rasul sehingga berhak memarahi kamu padahal
kamu mau tobat.”
“Ustadz
yakin?”
“InsyaAllah”,
jawabnya mantap.
“Tadz,
saya pernah minum bir. Apakah saya bisa diampuni Allah?”
Ustadz
Lukman tersenyum seraya berkata,”Kamu bisa diampuni atau tidak itu urusan
Allah,yang pasti jalan taubat selalu terbuka dengan taubat yang
sebenar-benarnya”.
“Kalau
yang ini Ustadz pasti tau, saya dulu suka mencopet dan mencuri, bagaimana
Tadz?”
“Ya ya. Kalau yang ini lain lagi,
kamu bukan hanya harus memohon ampun kepada Allah, tetapi juga harus meminta
maaf kepada orang yang barangnya telah kamu curi dan meminta keridhoan kepada
pemilik barangnya, syukur-syukur kamu bisa mengganti barangnya”. Ucapan beliau
cukup menemtramkan hatiku. Sepengetahuanku beliau orangnya cukup bijaksana.
“Bukan itu
saja Tadz, saya juga pernah melakukan zinah. Ini yang sangat menjadi beban
fikiran saya. Saya takut Allah ndak mau mengampuni saya. Saya juga malu kalo
sampai nanti bertemu dengan orangnya”, tak terasa aku menjelaskannya kepada
Ustadz Lukman dengan mata mulai merembeskan air mata.
“Sebenarnya
dosa ini tergolong besar. Tapi jika kamu benar-benar ingin bertaubat,
mudah-mudahan Allah berkenan mengampunimu.”
“Tapi
bagaimana jika keluarganya tidak ridho Tadz?”
“Itu sebenarnya hak keluarganya,
karena kamu telah membuat aib pada mereka. Kamu harus bertanggung jawab,
mintalah maaf kepada keluarganya. Allah ndak akan meridhoimu jika kamu tidak
meminta keridhoan kepada keluarganya”.
Penjelasan Ustadz Lukman benar-benar
membuat hatiku miris. Aku benar-benar ingin membersihkan dirikudari dosa-dosa.
Dari dosa besar hingga dosa yangterkecil sekalipun. Namun baru saja aku hendak
membersihkannya, kebimbangan datang mempengaruhiku. Apakah aku pantas bertemu
lagi dengannya?Apakah ayahnya mau memaafkan aku? huff. . entahlah.
Dengan
linangan airmata disertai sesenggukan, aku menyampaikan keluh kesahku. Mulai
dari pengalamanku setahun yang lalu ketika aku luntang-lantung di jalanan,
mencoba mencopet Ustadz Lukman di pasar tengah, ketahuan tukang parkir,dihajar
massa, hingga akhirnya Ustadz Lukman justru memaafkan aku dan menyelamatkanku
dari amukan massa, bahkan aku yang ketika itu gelandangan, diberikannya
pekerjaan mengurus kebun pesantren ini. Aku ceritakan kembali walaupun akuyakin
Ustadz Lukman tidak membutuhkannya.
Mungkin
Ustadz Lukman tidak mengerti apa yang aku katakan, karena aku mengatakannya
sambil terisak hingga beliau menyetop curhatku,” baik, baik. Begini saja, saya
akan membantu kamu menemui keluarga itu, berusaha memintamaafkan kepada mereka.
Tapi sekali lagi, dimaafkan atau ndak adalah hak mereka. Saya hanya berusaha
semampu saya. Akan saya katakan bahwa kamu benar-benar menyesal dan ingin
sekali meminta keridhoan mereka. Atau kalau kamu siap, sya juga akan mengatakan
bahwa kamu siap menikahinya.Gimana? Mau?”
Aku hanya
diam, tak tahu harus berkata apa.
“Sekarang
sebutkan saja siapa yang kamu zinahi? Siapa tahu saya kenal dengan
keluarganya”. Lanjut Ustadz Lukman.
Aku masih
diam, belum menemukan kata-kata yang tepat.
“Ya ya ya. . . Saya bisa menebak apa
yang sedang berkecamuk dalam hatimu. Memang sulit untuk meminta keridhoan
keluarga dalam masalah ini. Tapi kita coba dulu, siapa tahu melihat
kesungguhanmu mereka akan mau memaafkan”. Ustadz Lukman berbicara kepadaku
penuh dengan kasih sayang, seakan-akan aku adalah anaknya sendiri.
Beliau
kemudian memegang kedua bahuku,” Sekarang katakan ngger, sopo toh
orangnya?”
“Tapi
bener Ustadz ndak marah?”
“InsyaAllah.
“O…orang
yang sa..saya zinahi adalah A..annisa Tadz, putri Ustadz sendiri”.
“Opo??!!!”
Rahmat yang sedari tadi hanya diam,
sekarang langsung membentak.
“Ueedan!!
Beraninya kamu menzinahi adikku!! Dasar wong ora tau diuntung!! Udah
bagus kamu tu ditolong Abiku!! Kalo nggak
sekarang masih jadi gembel kue!!”
“Rahmat!!
Jaga ucapanmu!!” Ustadz Lukman menatap anaknya dalam-dalam.
Rahmat
terdiam.
Aku tak
tahu apakah ucapanku salah, aku berusaha mencari kata-kata yang tepat, tapi
lidahku kaku.
Aku diam.
Ustadz Lukman diam. Rahmat diam. Sesaat lamanya kami diam.
Setelah
beberapa saat kami sama-sama diam, ku dengar Ustadz Lukman beristighfar.
“Astaghfirullahal’azim.
A’uzubillahiminasyaithanirrojim.”
“Saya mengerti Tadz,sangat mengerti.
Mana ada orang tua yang sudi menikahkan anaknya kepada pemuda seperti saya. Antara
saya dan Annisa jauh berbeda, Annisa cantik dan sholehah. Sementara saya,tidak
ada yang bisa diharapkan dari saya yang hanya sebagai penjaga kebun ini. Akhlak
saya bejat. Orang tua dan family pun saya ndak punya.” Sepertinya air mataku
akan menetes lagi.
“Afwan
Tadz, asif jiddan, saya ndak mau membebankan Ustadz dengan
masalah ini. Sekali lagi, saya hanya ingin Allah mau mengampuni saya. Kalaupun
untuk itu mesti nyawa taruhannya saya siap. Silahkan hukum saya Tadz.”
Ustadz
Lukman hanya diam, aku tak tahu apa yang ada di benaknya. Mungkin beliau
menyesal mengapa waktu itu telah menolong aku dan membawaku ke lingkungan
pesantren ini. Jika waktu itu beliau tidak menolongku, mungkin semua ini tidak
akan terjadi.Tapi ntahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku tak berani
menatap wajah Ustadz Lukman.
Setelah
sesaat lamanya diam, beliau kemudian menarik nafas dalam-dalam dan
menghembuskannya perlahan.
“Begini
saja, saya akan coba membicarakan masalah ini kepada Umminya, kemudian nanti
shalat istikharah dulu.” Kata Ustadz Lukman mencoba tenang.
“Sekarang
saya mau tau,gimana kamu bisa bertemu dengan Annisa?”
Aku
berusaha mengingat-ingat kembali kejadian itu,” Kejadian ini terjadi empat hari
yang lalu Tadz.Pada saat itu saya sedang merumput di bawah pohon pepaya.
Kemudian datang dua orang gadis cantik berkerudung yang belakangan saya ketahui
salah satunya adalah Annisa dan yang satu lagi dalah temannya. Annisa meminta
salah satu pepaya yang telah masak. Katanya mau disajikan untuk tamu Ustadz
yang baru datang dari Kota Bengkulu.”
“O iya,
itu memang saya yang menyuruhnya.” Kata Ustadz Lukman.
“Pada saat
itu saya ambilkan pepayanya karena pohonnya cukup tinggi. Ketika saya
memberikan pepaya tersebut, Annisa tersenyum kepada saya sehingga saya jadi
salah tingkah.”
“Cukup!!
Jangan diteruskan!”Potong Rahmat
“Sekarang
ceritakan, sejak kapan kalian mulai akrab?” Rahmat melanjutkan dengan
pertanyaan.
“Akrab??”
Kami ndak sampai akarab Tadz, kami hanya pernah ketemu beberapa kali saja.” Aku
mengembalikan pembicaraan kepada Ustadz Lukman.
“Opo?!
Baru bertemu beberapa kali saja sudah berani berzinah? Berapa kali kalian
berzinah?” Rahmat mengepalkan tinjunya.
“Cuma
sekali, itupun ndak sengaja”.
“Heh!
Jangan pernah bilang kalau zinah itu tidak sengaja. Karena yang namanya zinah
terjadi atas kesengajan dari nafsu.” Nada bicara Rahmat kembali meninggi.
“Rahmat!!
Jaga emosimu!!” Ustadz Lukman kembali menenangkan Rahmat.
“Kapan
kamu berzinah dengan putri saya?”
“Ya itu
tadi Tadz, berawal dari saya yang salah tingkah itu tadi”.
“Maksud
kue opo toh?! Ojo muter-muter!. Coba jelaskan lagi”. Lagi-lagi Rahmat
membentakku.
“Ketika
saya memberikan pepaya tersebut, saya salah tingkah melihat senyumnya. Lantas
saya langsung menundukkan pandangan saya dan tidak melihat ia lagi, tanpa sadar
saya tersentuh tangannya. Itulah pertama kali saya menyentuh Annisa, saya
khilaf. Saya berjanji pada Allah itulah terakhir kali saya berzinah. Saya ndak
mau mengulanginya lagi.”
“Eh
tunggu! Jadi yang kamu maksud perzinahan itu. . . .”
“Allahuakbarullahuakbar!!!”.
Belum
selesai Ustadz Lukman menyelesaikan pertanyaannya, Udin si takmir masjid
mengumandangkan adzan isya’.
***