Kamis, 18 April 2013

Antara Kartini dan Sayidah Aisyah


-IGCC-
Oleh: Reza Ageung S*

KARTINI dan emansipasi, dua kata yang sulit dipisahkan. Di balik riwayat Kartini dengan surat-suratnya yang terkenal dan riwayat gagasan emansipasi yang terinspirasi feminisme dari zaman Pencerahaan, segolongan aktivis feminisme mencoba membajak sejarah untuk kepentingan-kepentingan tertentu, atau menjunjung nilai-nilai tertentu.



Dengan semangat “kesetaraan”, pendekatan legal formal dilakukan, guna mengubah apa yang mereka sebut sebagai “kontruksi sosial” yang merugikan kaum perempuan, atau sistem nilai yang cenderung patriarkis dan berorientasi pembedaaan gender.



Namun Kartini tidak dapat dipanggil kembali untuk sebuah konfirmasi. Isi benaknya tetap tersimpan dalam deretan tulisan sejarah yang ditorehkan orang lain dan tumpukan surat-suratnya kepada Ny. Abendanon, Nn. Stella Zeehandelaar, Ny Marie Ovink Soer, Ir. H. H. Van Kol, Ny. Nellie dan Dr Adriani, sederat lingkaran elit kolonial.


Pertanyaan sederhana sebetulnya adalah : benarkah Kartini memperjuangkan emansipasi, atau hak-hak perempuan atau apapun namanya? Jikapun benar, apakah apa yang diperjuangkan Kartini sama dengan apa yang diperjuangkan kaum feminis hari ini hingga mereka merasa memiliki lisensi untuk mencatut nama Kartini?


Sudah menjadi maklumat kita bersama bahwa kaum feminis hari ini memperjuangkan sebuah sistem nilai yang berkiblat pada Barat.


Perempuan di mata mereka adalah makhluk yang tiada beda dengan laki-laki, kecuali berbeda dalam struktur biologis belaka. Di luar itu, perempuan adalah laki-laki dengan segala haknya hingga dibolehkan, bahkan diharuskan untuk memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang. Arus inilah yang jelas terasa dalam Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang saat ini sedang menanti pembahasan di gedung dewan dan sudah menuai banyak kritikan dari kalangan intelektual muslim. Mengenai mudharat dari RUU ini sudah banyak dibahas dalam banyak tulisan.


Jika memang arus feminisme hari ini adalah tidak lain arus westernisasi yang notabene anti-Islam (bahkan anti-agama), maka Kartini pun akan tervonis sebagai penjaja ide-ide Barat dengan alasan mengkonter nilai adat yang menindas hak-hak kaum wanita. Benarkah begitu?


Kartini dan Islam


Bertolak belakang dari klaim pegiat feminisme, menarik sekali apa yang dipaparkan oleh pakar sejarah Ahmad Mansur Suryanegara tentang sosok Kartini. Dalam bukunya yang fenomenal, Api Sejarah, Ahmad Mansur menulis :

“Dari surat-suratnya yang dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang, ternyata R.A Kartini tidak hanya menentang adat, tetapi juga menentang politik kristenisasi dan westernisasi. Dari surat-surat R.A. Kartini terbaca tentang nilai Islam di mata rakyat terjajah waktu itu. Islam sebagai lambang martabat peradaban bangsa Indonesia. Sebaliknya, Kristen dinilai merendahkan derajat bangsa karena para gerejawannya memihak kepada politik imperialisme dan kapitalisme.”


Kepada E.C. Abandenon, Kartini menulis surat yang berisi penolakannya terhadap misi kristenisasi: “Zending Protestan jangan bekerjasama dengan mengibarkan panji-panji agama. Jangan mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani. Hal ini akan membuat Zending memandang Islam sebagai musuhnya. Dampaknya, semua agama akan memusuhi Zending.”


Di bagian lain Kartini menulis, “orang Islam umumnya memandang rendah kepada orang yang tadinya seagama dengan dia, lalu melepaskan keyakinannya sendiri memeluk agama lain.” Kenapa?, “karena yang dipeluknya agama orang Belanda, sangkanya dia sama tinggi derajatnya dengan orang Belanda.”


Sebuah opini yang lugas bahwa kristenisasi berjalin erat dengan westernisasi dan penanaman nilai-nilai yang memandang rendah bangsa sendiri dan memandang tinggi bangsa penjajah. Masih menurut Ahmad Mansur, Kartini memiliki sikap demikian setelah memperoleh dan membaca tafsir Al-Qur’an. Kekagumannya pada Qur’an ia tulis dalam suratnya kepada E.C. Abandenon : “Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami.” Qur’an ia sebut dengan “gunung kekayaan”.


Sisi ini yang kurang diperhatikan oleh pegiat emasipasi wanita dan feminisme. Bahwa Kartini sebagai sosok pembela hak perempuan dapat saja benar adanya, sebagaima wanita sezamannya Raden Dewi Sartika yang giat memperjuangkan pendidikan, utamanya pencerdasan kaum perempuan bahkan mendirikan Kautamaan Isteri pada tahun 1916. Hanya saja, amat berlebihan jika semangat pembelaan hak dan pencerdasan bangsa ini lantas ditafsirkan sebagai upaya merintis emansipasi, sebagaimana yang dilihat dari kacamata kaum feminis. Secara adil, seharusnya mereka juga melihat sosok Kartini sebagai pembela nilai Islam dari serangan Barat dan perintis pencerdasan perempuan, semua gagasan itu sudah mendapat landasannya dalam ajaran Islam, bukan dalam ajaran Barat.


Namun begitu, bagi umat Islam, sikap yang diperlukan sudah benderang. Kita berpijak dan menjunjung al-Qur’an dan Sunnah. Bagaimanapun sosok sejarah seperti Kartini sangat mudah mengalami multiinterpretasi, apalagi tidak ada seorang pun yang terjamin originalitas semua peninggalan intelektualnya di masa lalu, kecuali Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassalam. Maka, umat Islam tidak wajar jika melabuhkan teladannya pada sosok sejarah sepenuh hati. Ajaran al-Qur’an dan Sunnah mesti tetap menjadi pegangan utama, kacamata satu-satunya memandang dunia. Dengan kacamata ini, maka tidak ada seorang pun yang maksum, setiap sosok sejarah memiliki sisi baik untuk diteladani di samping sisi buruk untuk ditinggalkan. Maka tidak ada satu orang pun yang dapat dijadikan standar kebenaran menandingi al-Qur’an dan Sunnah.

Oleh karena itu, alih-alih Kartini, umat Islam memiliki banyak sosok lain dari gudang keteladanan generasi shahabiyah. Sebut saja Sayidah Aisyah ra, seorang isteri Nabi Shallawahu ‘Alaihi Wassalam sekaligus narator hadits, intelektual perempuan sepanjang zaman. Bagi kaum perempuan umat Islam, sosok ini, dan juga para shahabiyah lainnya, lebih wajar untuk dipanut. Wallahu a’lam.[]


*Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan

Selasa, 16 April 2013

Pintu Hidayah Dari Ar-Rahmah

Oleh: Abdul Fattah Munsyidun.

Matahari dhuha memantulkan sinarnya melewati pohon-pohon rimbun seakan tahu bahwa di pesantren Ar Rahmah ini sedang diadakan taujih bulanan. Langit pagi ini bertahta sangat cerah. Sementara itu di lapangan pesantren seorang Ustadz berdiri berceramah di tengah-tengah jamaah yang begitu antusias menyimak. Tema yang diangkat adalah zinah. Materi ini merupakan materi lanjutan dari materi bulan lalu. Tetapi dengan analogi yang pas, Sang Ustadz berhasil membungkus materi tersebut dengan sangat santun namun tetap tegas.

Ustadz tersebut memang terkenal dekat dengan santri.Walaupun usianya sudah berkepala lima, ia tak ketinggalan zaman. Berita tentang video mesum vokalis band papan atas yang sempat heboh beberapa waktu yang lalu pun diangkatnya dalam ceramah kali ini, yang pada intinya mengingatkan bahwasanya jika manusia tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya, maka ia bisa lebih rendah dari hewan.

Tak terasa waktu satu jam berlalu begitu cepat.
“Ya Allah. Engkaulah yang Maha Menguasai hati kami. Bungkuslah selalu hati kami dengan cahaya hidayah-Mu. Janganlah Engkau hancurkan kami dengan perangkap zinah ya Allah. Engkau telah banyak memberi kami nikmat, maka sempurnakanlah nikmat itu dengan keridhoan-Mu ya Rabb. Jangan tinggalkan kami disaat kami dalam masa-masa suli tmencari jati diri kami. Tuntunlah selalu kami menjadi hamba yang shalih. Aamin Ya Rabbal’alamiin.” Doa Sang Ustadz mengakhiri ceramahnya.

Ustadz Lukman, beliaulah orang yang aku maksud. Pimpinan pondok pesantren ini. Sosok panutanku yang sangat kusegani di pesantren ini. Dan akhir-akhir ini aku sangat ingin berbicara dengan beliau karena ada hal penting yang ingin aku utarakan menyangkut materi ceramah yang  ia sampaikan. Namun karena belakangan ini beliau sibuk aku jadi sulit untuk menemuinya, menurutku inilah waktunya.

Pada saat istirahat, aku langsung memanfaatkannya untuk mendekati Ustadz tersebut. Melihat sikapku yang terkesan agresif, “pengawal” di sampingnya spontan bergerak seakan ingin mencegahku. 

“Ono opo Sal? Mau cari gara-gara lagi di sini?” Rahmat dengan logat jawanya bertanya sinis padaku. 

Di lingkungan pesantren ini, kami menggunakan bahasa Curup sebagai bahasa harian, namun karena suku kami berbeda-beda,  maka tak jarang bahasa selain Curup pun terdengar. Ada orang Jawa, Rejang, Minang, Lembak, dan lain sebagainya. Sehingga ketika Jawa berbicara dengan orang Jawa,mereka berbahasaJawa,begitu juga Rejang, Minang,Lembak,dan lain sebagainya. Kecuali ketika pada hari bahasa, kami diwajibkan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa arab. Kebetulan keluarga Ustadz Lukman dan aku orang Jawa, maka ketika di luar hari bahasa, tak jarang kami berbahasa jawa.

“Ndak, aku hanya mau berbicara dengan Ustadz Lukman, bolehkan ?”
Ustadz Lukman menganggukkan kepala.
“Maaf Tadz, kayaknya ndak sopan kalo aku mengganggu Ustadz makan, saru. Bisakah kita berbicara setelah makan berdua saja?”
“Ora iso!! Abi sibuk, setelah ini beliau mau istirahat.” Potong Rahmat.
Ustadz Lukman menatap putra sulungnya tersebut. Ia pun tertunduk, mungkin malu.
“Apakah ada hal yang penting?” Tanya Ustadz Lukman kepadaku.
“Ss.. Sangat penting Tadz.” Tiba-tiba aku menjadi gugup.
“Baiklah, temui saya setelah acara ini.” Kata Ustadz Lukman.
“Kenapa Abi mau berbicara dengan orang seperti dia?”Rahmat kembali menunjukkan sikap tidak sukanya kepadaku.
“Sepertinya kamu ndak mau kalau Abi bertemu dengan dia,kenapa ?” Selidik Ustadz Lukman.
“Bukannya berprasangka buruk Bi,aku tahu bagaimana sifat Faisal. Umurnya sudah dua puluh tahunan, tapi masih saja berbuat maksiat, merokok, berantem,pokoknya yang buruk-buruk deh Bi. Masa Abi ndak tau sama santrinya sendiri.”Komentar Ramat  sambil melihatku sinis.
“Kamu ngomong ndak berprasangka buruk, tapi dari tadi nadayang kamu ucapkan penuh kecurigaan.”
“Abi jangan salah paham dulu, Rahmat cuma mau ngasih pelajaran aja ke dia. Dia itu playboy Bi, dengan wajahnya yang kayak gitu, dia bisa memikat banyak santriwati di sini. Mendekati zinah juga kan Bi?”

Aku menghela napas mencoba sabar. Rahmat sangat menyebalkan. Mentang-mentang aku hanyalah penjaga kebun pesantren ini, seenaknya saja ia menghinaku. Kalau saja Rahmat bukan anak dari pengasuh pesantren ini,sudah ku tampar mulutnya.

Astaghfirullah!! Aku tersadar. Mungkin ini ujian pertamaku untuk membuktikan bahwa aku benar-benar ingin insyaf. Ya Allah. . . . .
“Tuh kan kamu curiga lagi. Kamu tau banyak, memangnya kamu plototin terus heh? Ndak toh? Kenapa kamu orangnya mudah su’uzhan sih? Abi ndak pernah ngajari kamu seperti ini”. Ku lihat Ustadz Lukman bersikap bijak.
Ustadz Lukman kemudian tersenyum seraya berkata kepadaku.”Mau bicara tentang apa? Kira-kira lama ndak?”
“Lumayan lama sih Tadz, aku mau cerita tentang masalah pribadiku”.
“Ya sudah, nanti ba’da maghrib aja ya kamu temui saya di masjid, karena kalo sekarang saya ndak bisa lama-lama. Kebetulan sudah ini saya ada tamu. Ndak apa-apa kan?”
“Baik Ustadz, ndak apa-apa, maturnuwon.”
Aku pun beranjak pergi meninggalkan Ustadz Lukman dengan perasaan lega dan kembali ke kebun untuk menjalankan rutinitas utamaku di pesantren ini.
****
Qodqomatishholah QOdqomatisholah…
Allahuakbar Allahuakbar laila haillallah……
Kami semua menunaikan sholat maghrib. Ustadz Lukman menjadi imam, kemudian memimpin zikir dan doa. Begitu rutinitas maghrib selesai dilakukan, para santri kembali ke asrama karena hari ini tidak ada acara muhadhoroh.
Aku langsung mendekati Ustadz Lukman, eh ternyata si Rahmat juga. Mungkin dia mau mendengar apa yang ingin aku bicarakan. Terserah, aku tak peduli.

“Ustadz, boleh kita bicara sekarang?”
“Oh ya, boleh. Berdua saja?”  Ustadz Lukman berkata seraya melirik Rahmat.
“Ndak Tadz, kalo Rahmat mau ndengar juga ndak apa-apa”. Ku lihat Rahmat jadi salah tingkah.
“Oh ya udah, monggo, tadi mau ngomong apa?”
“Begini Tadz, saya ini orang yang banyak dosa, saya mau dihukum. Sebenarnya sudah lama saya mau menyampaikan hal ini kepada Ustadz, tapi belum ada kesempatan”. Aku memulai pembicaraan.

“Tunggu, tunggu. Kamu minta dihukum. Saya saja belum tau apa salahmu yang mesti saya hukum. Coba jelaskan dulu, saya mau dengar”.
“Terlalu banyak Tadz dan terlalu besar, saya malu.Kalau Ustadz langsung menghukum saya tentu tidak akan malu da saya siap menerima apaun hukuman dari Ustadz, yang jelas saya telah berbuat dosa Tadz.”

Ustadz Lukman tersenyum, beliau tahu bagaimana sepak terjangku sebelum masuk ke lingkungan pesantren ini. Mudah-mudahan beliau masih memberikanku kesempatan untuk ku memperbaiki diri.

“Kenapa malu? Apa kamu kira saya akan menceritakannya ke semua orang?”
“Bukan begitu Tadz, tapi. . .”
“Mm.. Kalau begitu kamu bisa tetap merahasiakanya, jadi kamu ndak perlu dihukum.”

Gerakan Ustadz Lukman yang seolah-olah akan berdiri membuatku menjadi kelabakan.

“Eh…Jangan pergi dulu Tadz, kalau Ustadz pergi lantas siapa yang akan menghukum saya?’ Aku mencoba menahannya.
“Apa yang perlu saya hukum?” Lagi-lagi Ustadz Lukman membuatku merasa serba salah.
Suasana hening sesaat. Rahmat hanya menyimak.
“Tapi kalau saya ngomong apa adanya, tentu Ustadz akan menghukum saya,”
“InsyaAllah ndak. Rasul aja ndak pernah marah walau kaum kafir quraisy sangat membencinya. Difitnah, dilempari kotoran unta, bahkan diancamakan dibunuh Rasul tetap tidak marah. Saya ndak lebih baik dari Rasul sehingga berhak memarahi kamu padahal kamu mau tobat.”
“Ustadz yakin?”
“InsyaAllah”, jawabnya mantap.
“Tadz, saya pernah minum bir. Apakah saya bisa diampuni Allah?”

Ustadz Lukman tersenyum seraya berkata,”Kamu bisa diampuni atau tidak itu urusan Allah,yang pasti jalan taubat selalu terbuka dengan taubat yang sebenar-benarnya”.

“Kalau yang ini Ustadz pasti tau, saya dulu suka mencopet dan mencuri, bagaimana Tadz?”
“Ya ya. Kalau yang ini lain lagi, kamu bukan hanya harus memohon ampun kepada Allah, tetapi juga harus meminta maaf kepada orang yang barangnya telah kamu curi dan meminta keridhoan kepada pemilik barangnya, syukur-syukur kamu bisa mengganti barangnya”. Ucapan beliau cukup menemtramkan hatiku. Sepengetahuanku beliau orangnya cukup bijaksana. 

“Bukan itu saja Tadz, saya juga pernah melakukan zinah. Ini yang sangat menjadi beban fikiran saya. Saya takut Allah ndak mau mengampuni saya. Saya juga malu kalo sampai nanti bertemu dengan orangnya”, tak terasa aku menjelaskannya kepada Ustadz Lukman dengan mata mulai merembeskan air mata.

“Sebenarnya dosa ini tergolong besar. Tapi jika kamu benar-benar ingin bertaubat, mudah-mudahan Allah berkenan mengampunimu.”
“Tapi bagaimana jika keluarganya tidak ridho Tadz?”
“Itu sebenarnya hak keluarganya, karena kamu telah membuat aib pada mereka. Kamu harus bertanggung jawab, mintalah maaf kepada keluarganya. Allah ndak akan meridhoimu jika kamu tidak meminta keridhoan kepada keluarganya”.

Penjelasan Ustadz Lukman benar-benar membuat hatiku miris. Aku benar-benar ingin membersihkan dirikudari dosa-dosa. Dari dosa besar hingga dosa yangterkecil sekalipun. Namun baru saja aku hendak membersihkannya, kebimbangan datang mempengaruhiku. Apakah aku pantas bertemu lagi dengannya?Apakah ayahnya mau memaafkan aku? huff. . entahlah.

Dengan linangan airmata disertai sesenggukan, aku menyampaikan keluh kesahku. Mulai dari pengalamanku setahun yang lalu ketika aku luntang-lantung di jalanan, mencoba mencopet Ustadz Lukman di pasar tengah, ketahuan tukang parkir,dihajar massa, hingga akhirnya Ustadz Lukman justru memaafkan aku dan menyelamatkanku dari amukan massa, bahkan aku yang ketika itu gelandangan, diberikannya pekerjaan mengurus kebun pesantren ini. Aku ceritakan kembali walaupun akuyakin Ustadz Lukman tidak membutuhkannya.

Mungkin Ustadz Lukman tidak mengerti apa yang aku katakan, karena aku mengatakannya sambil terisak hingga beliau menyetop curhatku,” baik, baik. Begini saja, saya akan membantu kamu menemui keluarga itu, berusaha memintamaafkan kepada mereka. Tapi sekali lagi, dimaafkan atau ndak adalah hak mereka. Saya hanya berusaha semampu saya. Akan saya katakan bahwa kamu benar-benar menyesal dan ingin sekali meminta keridhoan mereka. Atau kalau kamu siap, sya juga akan mengatakan bahwa kamu siap menikahinya.Gimana? Mau?”

Aku hanya diam, tak tahu harus berkata apa.
“Sekarang sebutkan saja siapa yang kamu zinahi? Siapa tahu saya kenal dengan keluarganya”. Lanjut Ustadz Lukman.

Aku masih diam, belum menemukan kata-kata yang tepat.
“Ya ya ya. . . Saya bisa menebak apa yang sedang berkecamuk dalam hatimu. Memang sulit untuk meminta keridhoan keluarga dalam masalah ini. Tapi kita coba dulu, siapa tahu melihat kesungguhanmu mereka akan mau memaafkan”. Ustadz Lukman berbicara kepadaku penuh dengan kasih sayang, seakan-akan aku adalah anaknya sendiri.

Beliau kemudian memegang kedua bahuku,” Sekarang katakan ngger, sopo toh orangnya?”
“Tapi bener Ustadz ndak marah?”
“InsyaAllah.
“O…orang yang sa..saya zinahi adalah A..annisa Tadz, putri Ustadz sendiri”.
“Opo??!!!”  Rahmat yang sedari tadi hanya diam, sekarang langsung membentak.
“Ueedan!! Beraninya kamu menzinahi adikku!! Dasar wong ora tau diuntung!! Udah bagus kamu tu ditolong Abiku!! Kalo nggak  sekarang  masih jadi gembel kue!!
“Rahmat!! Jaga ucapanmu!!” Ustadz Lukman menatap anaknya dalam-dalam. 
Rahmat terdiam.

Aku tak tahu apakah ucapanku salah, aku berusaha mencari kata-kata yang tepat, tapi lidahku kaku.
Aku diam. Ustadz Lukman diam. Rahmat diam. Sesaat lamanya kami diam.
Setelah beberapa saat kami sama-sama diam, ku dengar Ustadz Lukman beristighfar.

“Astaghfirullahal’azim. A’uzubillahiminasyaithanirrojim.”
“Saya mengerti Tadz,sangat mengerti. Mana ada orang tua yang sudi menikahkan anaknya kepada pemuda seperti saya. Antara saya dan Annisa jauh berbeda, Annisa cantik dan sholehah. Sementara saya,tidak ada yang bisa diharapkan dari saya yang hanya sebagai penjaga kebun ini. Akhlak saya bejat. Orang tua dan family pun saya ndak punya.” Sepertinya air mataku akan menetes lagi.
Afwan Tadz, asif  jiddan,  saya ndak mau membebankan Ustadz dengan masalah ini. Sekali lagi, saya hanya ingin Allah mau mengampuni saya. Kalaupun untuk itu mesti nyawa taruhannya saya siap. Silahkan hukum saya Tadz.”

Ustadz Lukman hanya diam, aku tak tahu apa yang ada di benaknya. Mungkin beliau menyesal mengapa waktu itu telah menolong aku dan membawaku ke lingkungan pesantren ini. Jika waktu itu beliau tidak menolongku, mungkin semua ini tidak akan terjadi.Tapi ntahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku tak berani menatap wajah Ustadz Lukman.

Setelah sesaat lamanya diam, beliau kemudian menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

“Begini saja, saya akan coba membicarakan masalah ini kepada Umminya, kemudian nanti shalat istikharah dulu.” Kata Ustadz Lukman mencoba tenang.
“Sekarang saya mau tau,gimana kamu bisa bertemu dengan Annisa?”
Aku berusaha mengingat-ingat kembali kejadian itu,” Kejadian ini terjadi empat hari yang lalu Tadz.Pada saat itu saya sedang merumput di bawah pohon pepaya. Kemudian datang dua orang gadis cantik berkerudung yang belakangan saya ketahui salah satunya adalah Annisa dan yang satu lagi dalah temannya. Annisa meminta salah satu pepaya yang telah masak. Katanya mau disajikan untuk tamu Ustadz yang baru datang dari Kota Bengkulu.”

“O iya, itu memang saya yang menyuruhnya.” Kata Ustadz Lukman.
“Pada saat itu saya ambilkan pepayanya karena pohonnya cukup tinggi. Ketika saya memberikan pepaya tersebut, Annisa tersenyum kepada saya sehingga saya jadi salah tingkah.”
“Cukup!! Jangan diteruskan!”Potong Rahmat
“Sekarang ceritakan, sejak kapan kalian mulai akrab?” Rahmat melanjutkan dengan pertanyaan.
“Akrab??” Kami ndak sampai akarab Tadz, kami hanya pernah ketemu beberapa kali saja.” Aku mengembalikan pembicaraan kepada Ustadz Lukman.
“Opo?! Baru bertemu beberapa kali saja sudah berani berzinah? Berapa kali kalian berzinah?” Rahmat mengepalkan tinjunya.
“Cuma sekali, itupun ndak sengaja”.
“Heh! Jangan pernah bilang kalau zinah itu tidak sengaja. Karena yang namanya zinah terjadi atas kesengajan dari nafsu.” Nada bicara Rahmat kembali meninggi.
“Rahmat!! Jaga emosimu!!” Ustadz Lukman kembali menenangkan Rahmat.
“Kapan kamu berzinah dengan putri saya?”
“Ya itu tadi Tadz, berawal dari saya yang salah tingkah itu tadi”.
Maksud kue opo toh?! Ojo muter-muter!. Coba jelaskan lagi”. Lagi-lagi Rahmat membentakku.
“Ketika saya memberikan pepaya tersebut, saya salah tingkah melihat senyumnya. Lantas saya langsung menundukkan pandangan saya dan tidak melihat ia lagi, tanpa sadar saya tersentuh tangannya. Itulah pertama kali saya menyentuh Annisa, saya khilaf. Saya berjanji pada Allah itulah terakhir kali saya berzinah. Saya ndak mau mengulanginya lagi.”
“Eh tunggu! Jadi yang kamu maksud perzinahan itu. . . .”

“Allahuakbarullahuakbar!!!”.
Belum selesai Ustadz Lukman menyelesaikan pertanyaannya, Udin si takmir masjid mengumandangkan adzan isya’.
***

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...