Senin, 04 November 2013

Tahun Baru 1435 H, Momentum Hijrah, Renungan Spiritual di Akhir Tahun

-IGCurup- Detik berganti, sembari mengantarkan 1434 H ke penghujung tahun. Dzikir akbar di mana-mana, Istighosah dan Muhasabah membahana. Tak ketinggalan, pengajian dan agenda mabitpun bertebaran. Tak ada yang salah dengan fenomena ini. Ada maslahah mursalah di sana. Mengingatkan manusia bahwasanya waktu terus berputar, dunia menua dan akhiratpun semakin mendekat. Lekat.

Namun semestinya, bukan hanya di momen pergantian tahun ini kita merefleksikan hidup kita, untuk apa usia kita habiskan, kegiatan apa yang kita gunakan untuk mengisi waktu luang dan sejauh mana perintah Yang Maha Rahman telah kita kerjakan. 

Untuk saat ini mari kita sejenak renungkan hari-hari yang telah kita lalui.

Mari sama-sama kita simak tulisan dari Syaikh Aidh Al Qarni, mengenai hal ini;

  •   Tahukah anda bahwa diatas kepala Rasulullah Saw pernah diletakan isi perut hewan, kedua tumitnya berdarah, gigi serinya dirontokan, kepalanya terluka, dan orang-orang yang disayanginya terbunuh? Beliau mengikat perutnya  dan mengganjalnya  dengan batu karena kelaparan, mengalami kekalahan dalam sebagian peperangan, lambungnya yang suci tidak luput dari cobaan, pernah disekap, pernah mendengar cacian dikedua telinganya, melihat dengan mata kepala sendiri berbagai tipu muslihat yang ditujukan kepada dirinya, diusir dari kampung halamannya dan  dituduh gila, tukang sihir dan tukang ramal
  •  Tahukan anda Umar r.a di tusuk dimihrab dan tubuhnya dirobek dengan tombak kecil. Usman r.a darahnya mengalir membasahi mushaf yang dibacanya karena pedang pemberontak, saat itu ia berusia 80 tahun. Adapun Ali r.a dipukul pelipisnya dengan pedang oleh orang Khawarij,  darah mengalir  membasahi jenggotnya.
  •  Tidakkah anda tahu bahwa Ahmad bin Hanbal dijebloskan kedalam penjara, dicambuk dengan cambuk yang melukai, dilarang mengajar, dan ditakut-takuti akan dibunuh. Ibnu Taimiyah dijebloskan kedalam penjara.  Darahnya dialirkan, kehormatannya dilecehkan,  dan  agamanya  dicurigai.
Itulah sekelumit perjuangan pendahulu, dan kita yang duduk di masjid ini, atau di rumah tentunya tidak akan mengalami seperti apa yang digambarkan diatas. Namun demikian perjuangan menegakkan kalimah Allah tidak pernah terputus karena musuh-musuh Allah baik dalam bentuk jin dan manusia terus bergerak secara dinamis mengikuti dinamika umat.  Makin kuat komitmen terhadap kalimah “laa illaha ilallah”, maka makin kuat pula tekanan yang diberikan oleh musuh-musuh Allah. Ini adalah sunatullah. Sebaliknya, lemahnya kalimah “laa illaha ilallah” lemah pula tekanan yang diberikan, karena bercampurnya antara ketauhidan dengan syirik, ketaatan dan kemunafikan, semuanya menjadi kabur maka bersukarialah para musuh Allah karena tujuannya tercapai.
Oleh karena itu momen perenungan harus diikuti dengan instropeksi terhadap diri masing. Jika kita simak peringatan Allah Swt :
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
 (Qs Al Hasyr : 18).
Ini bermakna, hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Allah, dan lihatlah apa yang telah kamu tabung untuk diri-diri kamu, berupa amal-amal saleh, untuk hari di mana kamu akan kembali berhadapan dengan Tuhan-mu (tafsir Ibnu Katsir). Sudah menjadi kebiasaan setiap peringatan hijrah para khatib selalu mengingatkan umat untuk melakukan instropeksi demikian juga  berbagai tulisan mimbar Jum’at di media cetak  mempunyai anjuran yang sama. Tetapi jika kita mau merenung lebih jauh lagi sebenarnya untuk memeriksa diri (muhasabah)  tidak perlu sampai akhir tahun tetapi setiap waktu sholat kewaktu sholat adalah proses memeriksa diri. Bukankah setiap shalat kita mengucapkan kalimat istighfar yaitu mohon ampun dan bertobat. Allah Swt berfirman
“dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang yang beriman supaya kamu beruntung.  (Qs An Nur : 31).
 Taubat ialah meninjau perbuatan dengan menyelesalinya setelah dikerjakan. Umar r.a memberi contoh,  ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut  seraya berkata kepada dirinya, “apakah yang telah kamu perbuat hari ini.” Dengan penjelasan ini, maka moment peringatan hijrah merupakan instropeksi tahunan disamping instropeksi harian yang muaranya membentuk umat yang benar-benar bertaubat dan selalu mawas diri.Ibnu Qayyim Al Jauziyyah da-lam bukunya “Melumpuhkan   Syetan” memberi tuntunan untuk memeriksa diri  sebagai berikut :
  • Hendaknya ia menghisab dirinya dalam hal-hal yang wajib, jika ia ingat ada yang ditinggalkan maka ia harus menyusulnya, baik dengan qadha atau dengan perbaikan.
  • Hendaknya ia menghisab dirinya dalam hal-hal yang dilarang. Jika ia mengetahui ada sesuatu yang dilanggar maka hendaknya ia segera menyusulnya dengan taubat, istighfar dan berbagai kebaikan yang menghapus dosa.
  • Hendaknya ia menghisab atas kelalaian dirinya. Jika ia lengah tentang untuk apa ia kerjakan maka hen-daknya ia menyusulnya dengan dzikir, menghadap kepada Allah.
  • Hendaknya ia menghisab apa yang telah dibicarakan, atau kemana kakinya melangkah, atau apa yang di-ambil oleh kedua tangannya, atau apa yang di dengar oleh kedua telinganya. Semuanya dihisab dengan tiga pertanyaan :
a.     untuk apa dilakukannya, 
b.     untuk siapa dan
c.      dasar apa dilakukan semua itu ?
Memeriksa diri bukan pekerjaan mudah, tetapi harus dilaksanakan bukan diremehkan,  jika tidak dilaksanakan akan menghantarkan seseorang kepada kehancuran. Dan itulah orang orang-orang yang terperdaya menutup mata dari segala akibat, menantang keadaan dan bersandar ha-nya pada ampunan.   Seandainya saja ia mengikuti kebenaran, niscaya ia akan tahu bahwa penjagaan nafsu lebih mudah dari pada meliarkannya.
Mudah-mudahan perenungan semangat hijrah ini menambah ketakwaan kita kepada Allah Swt . Amin
Wallahu ‘alam bish shawab (red)

Doa Kita untuk Mereka

“Sejak dulu kami menyepakati,” demikian tulis Imam Ahmad ibn Hambal, 

“jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

Tidak menghina orang baik, itu perkara yang wajar adanya. Akan tetapi, tidak menghina mereka yang (sedang) tergelincir dosa, butuh kesungguhan juga. Ini bukan pekerjaan sederhana. Betapa sering kita memperolok orang lain yang sedang terpeleset dan berperkara. Mengejek mereka sambil memicingkan sebelah mata. Alih-alih menginstrospeksi diri, kita malah menyibukkan diri untuk menjadikan mereka yang tergelincir dalam kekhilafan sebagai bahan gunjingan. Maka, sekali lagi, betapa sering kita dengan sikap jumawa mempertanyakan, “Kok bisa dia berbuat sekerdil itu?” Seakan kita merasa sangat yakin bahwa kita akan mampu melampaui ujian serupa. Sungguh, hanya kepada Allah kita memohon pada Allah agar mengistiqamahkan hati kita dalam ketaatan kepada-Nya.

Ketika seseorang menghina saudaranya yang tergelincir kedalam kesalahan, pada saat bersamaan ia sedang menggelincirkan diri pada kesalahan yang bersebab kesombongan. Jumawa bahwa dirinya lebih baik. Sungguh perkataan Sufyan bin Uyainah patut kita renungkan. 

“Siapa yang kemaksiatannya terletak pada syahwat, maka taubat bisa diharapkan darinya. Sebab Adam a.s. bermaksiat karena keinginan syahwat, ia bertaubat lalu diampuni. Sementara jika kemaksiatannya terletak pada kibr (kesombongan), maka aku khawatir ia sebagai orang yang dilaknat. Iblis bermaksiat karena kesombongan karenanya ia dilaknat.” 

Begitulah yang terjadi, ketika seseorang menghina saudaranya yang tertimpa kesalahan, ia sendiri tidak menyadari bahwa penghinaan yang dilakukannya adalah kesalahan yang lebih parah. Apa yang diperoleh dari menghina? Pahala dari Allah berupa jaminan surgakah? Atau bertumpuknya keburukan dan kehinaan diri? Alangkah indah manakala kita bersibuk menelisik diri daripada menguliti saudara sendiri.

Suatu hari Sufyan bin Al-Hashin duduk berbincang dengan Iyas bin Mu’awiyah. Ketika melintas seorang anak muda, Sufyan menuturkan keburukan anak muda itu. Iyas bin Mu’awiyah lalu mencergahnya dan mengatakan, 

“Diamlah wahai Sufyan, apakah engkau pernah terlibat dalam pertempuran melawan Romawi?” Sufyan menjawab tidak pernah. Kembali Iyas bin Mu’awiyah bertanya pada Sufyan bin Al-Hashin. “Kalau begitu pernahkah engkau ikut dalam perang melawan pasukan Tatar?” Kembali Sufyan menjawab tidak sambil menggelengkan kepala. “Orang Romawi dan orang Tatar selamat dari keburukan lisanmu,” demikian kata Iyas bin Mu’awiyah, “tapi, seorang Muslim cedera karena lisanmu!” 

Sungguh ada banyak hal yang patut dibanahi dari diri kita hari-hari ini. Ketika media mempermudah jangkauan untuk mengetahui ruang-ruang pribadi seseorang, seringkali kita menjadi latah untuk mengomentari. Kita pun menjadi tak sadar sedang digiring ke arah tradisi pergunjingan yang tiada manfaat. Kita mendadak menjadi gampang mencela dan mudah dibuat kecewa pada hal-hal yang tidak terlalu penting. Betapa hal-hal demikian sangat menguras energi dan mudah membelokkan orientasi; dari semangat beramal ke arah hasrat pergunjingan. Na’udzubiLlahi min dzalik.

Alangkah menusuk nasihat Ibnu Athaillah As-Sakandary. 

“Betapa banyak kemaksiatan yang mewariskan rasa hina dan rendah di hadapan Allah ta’ala,” tuturnya. Beliau lalu melanjutkan, “Sungguh, itu lebih baik dari ketaatan yang mewariskan sikap merasa mulia dan sombong.” 

Begitulah kearifan sikap dinasihatkan pada kita. Agama ini melarang seseorang untuk mencaci dan menghina orang yang melakukan kesalahan. Pada yang berdosa saja kita tak boleh mencelanya, apalagi pada mereka yang kesalahannya belum diputuskan benar tidaknya. Puncak tertinggi dari masyarakat Muslim adalah menegakkan hukum sesuai yang dituntukan Allah, dan bukan menyibukkannya dengan cacian dan hinaan. 

Bukankah kita tak mengetahui jalan cerita kehidupan seseorang? Bukankah telah bertabur banyak tauladan, mereka yang pernah tergelincir dalam kekhilafan ternyata mampu menuntaskan kehidupannya dalam kebaikan. Yunus pernah terjerat khilaf. Ketika ia berdakwah di Ninawa dan yang ia temukan hanyalah pembangkangan. Hilanglah sabarnya. Ia pergi meninggalkan Ninawa sebelum diperintakan-Nya. Sang Nabi ‘mutung’. Lalu, ia ditelan ikan. Setelahnya ia menginsyafi seluruh kesalahannya dengan doa (Qs. al-Anbiyaa’ [21]: 87). Ia tak lagi dalam hina. Yunus bertabur kemuliaan. Kisah hidupnya menjadi teladan, maka Quran mengisahkan.

Sungguh, tak akan terhina orang yang dimuliakan Allah karena taubatnya setelah khilaf. Tak akan mulia orang yang dihinakan Allah bersebab jumawa yang ditempuhnya dalam taat.

Pada mereka yang keluarganya sedang didera ujian, doakan semoga lekas terurai masalah. Jangan memperolok dan menghinakannya. Kita tak berharap ujian serupa ditimpakan atas diri kita. Begitu pula pada mereka yang gagal menghadapi ujian kehidupan dari Allah, kita panjatkan doa agar Allah menyayangi mereka yang berusaha memperbaiki diri. Berdoa pula agar kita istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya, lalu menuntaskan tugas hidup kita dengan khusnul khatimah.

Sabtu, 02 November 2013

Himmah (Cita) Seorang Da'i


Secara bahasa himmah biasa diartikan cita-cita. Namun bila kita dalami dan kita selami maknanya, ia bisa berarti sesuatu yang senantiasa hangat dan ada dalam pikiran kita. 

Di siang hari, ia senantiasa dipikirkan, di malam hari, ia terus diimpikan. Ia terus ada dan menyatu dengan jiwa, kemanapun pergi, ia selalu di bawa. Dimanapun berdiam, ia tidak lantas tiada. Ia terus mewarnai setiap langkah dan gerak, atau istilah shufi-nya: ia selalu muncul dalam setiap sakanat dan harakat kita.

Himmah juga mempunyai keterkaitan dengan kata hamm yang bentuk jamak (plural)-nya adalah humum yang secara mudah biasa diterjemahkan: kesedihan. Ia memang demikian, artinya: seseorang yang mempunyai himmah sesuatu, ia akan terus merasa sedih dan tidak akan (bahkan tidak mau) mengecap sedikit kebahagiaan manakala apa yang menjadi himmah-nya itu belum kesampaian. Dan puncak kebahagiaannya adalah saat ia berhasil mewujudkan apa yang menjadi himmah-nya itu.

Bila da'wah telah kita definisikan sebaai upaya untuk mempengaruhi, dan mengajak mad-'u ke jalan Allah swt, jalan Islam, jalan nabi Muhammad saw, maka himmah seorang da'i bisa kita artikan sebagai kesedihan sang da'i dan ke-"tidak-mauannya" untuk mengecap sedikitpun kebahagiaan manakala belum berhasil membawa seorang manusiapun kepada jalan hidayah, jalan Allah swt, jalan para nabi, shiddiiqin, syuhada' dan shalihin. Ia baru merasa puas, bahagia, dan gembira manakala telah berhasil menjadi penyebab terhidayahinya seorang manusia untuk memeluk Islam, hidup dengannya dan mati dengan tetap menyandang predikat muslim.

Namun, sebagai seorang muslim yang menyadari perannya sebagai ujung tombak khaira ummatin ukhrijat linnaas, yang salah satu karakternya adalah ta'muruuna bil ma'ruuf watanhauna 'anil munkar, himmah sang da'i itu tidak berhenti manakala telah sukses menjadi penyebab terhidayahinya satu orang. Himmah itu akan kembali muncul dalam dirinya dan akan terus muncul sehingga ia kembali kepada Allah swt.
Himmah seperti ini telah digambarkan oleh beberapa kisah yang ada di dalam Al Qur'an.

Diantaranya adalah kisah burung Hud-Hud-nya nabi Sulaiman 'alaihis-salam.
Al Qur'an menceritakan bahwa burung yang kecil itu, yang tidak mampu terbang jauh, telah melakukan perjalanan yang sangat jauh, dari Palestina (negeri nabi Sulaiman 'alaihis-salam) ke negeri Saba' di Yaman (negerinya ratu Bilqis). Ia telah lalui hamparan padang pasir yang sangat luas, yang tidak mungkin berani melampauinya kecuali ash-habul himam al 'aaliyyah (pemilih himmah tinggi). Jangankan seekor burung Hud-Hud, manusia saja ngeper dan berpikir berkali kali untuk mengarunginya. Bukankah yang akan dilewatinya adalah padang pasir, yang sangat panas, sedikit air, sedikit makanan, dan kekerasan-kekerasan alam lainnya. Namun dengan semangat membaja, sang burung kecil itu melakukan perjalanan sejauh itu, dengan satu tujuan: memberi informasi kepada nabi Sulaiman 'alaihis-salam tentang negeri-negeri lain, yang bisa jadi, ia akan menjadi penyebab berimannya penduduk negeri itu.

Karena jaraknya yang sangat jauh, dan tentunya membutuhkan waktu lama untuk menempuhnya, maka sang burung itu absen dan tidak menghadiri majlis nabi Sulaiman 'alaihis-salam dalam waktu yang cukup lama. Dan karena absen terlalu lama, ketidakmunculannya itu menjadi tanda tanya nabi Sulaiman 'alaihis-salam.
Singkat cerita, akhirnya sang burung kecil itu muncul juga dan menyampaikan informasi yang didapatnya.
Untuk membuktikan kebenaran informasinya, sang burung mesti terbang ke negeri itu sekali lagi. Sungguh, himmah yang luar biasa. Dan tidak sia-sia, penduduk negeri Saba' itu akhirnya tunduk kepada nabi Sulaiman dan meninggalkan kemusyrikannya.
(Lihat kisah lengkapnya di QS An-Naml [27]: 16 – 44).

Ada lagi cerita lain yang tidak kalah menariknya. Kisah seorang lelaki, ya ... seorang lelaki, yang tidak dikenal, bahasa Al Qur'annya: Rojulun, yang datang dari aqshal madinah (wilayah kota yang paling ujung, paling jauh), yang datang dengan yas'a (berlari) demi memberikan pembelaan kepada rasul-rasul Allah swt. Dan karena pembelaannya itu ia dibunuh oleh kaumnya.

Di alam akhiratnya, ia merasakan betapa besar kenikmatan yang didapatkannya dari Allah swt. Lelaki yang dibunuh oleh kaumnya ini masih mengingat kaumnya, bukan dalam rangkan dendam, akan tetapi ... ungkapan empatinya yang sangat dalam kepada kaumnya, namun sayang, kaumnya tidak mengetahuinya. SubhanaLlah, sudah meninggal dunia, sudah di alam lain, himmah-nya sebagai da'i tidak padam juga. Sehingga meluncurlah kata-kata dari lisannya: ya laita qaumi ya'lamuun. Bima ghofaro li robbi wa ja'alani minal mukromin.
(kisah lengkapnya silahkan lihat di QS Yaa siin [36]: 13 – 30).

Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah ...
Masyarakat kita mayoritas adalah masyarakat muslim, diantara mereka ada yang membutuhkan tastsbit (pengokohan), dzikro (pengingatan), nasehat dan semacamnya. Untuk menjalankan tugas-tugas ini, sangat-sangat dibutuhkan adanya orang-orang yang memiliki himmah 'aaliyyah (himmah yang sangat tinggi), karenanya, asahlah himmah kita, barangkali akan ada satu dua orang yang terhidayahinya kepada jalan Islam, jalan Allah swt, dan kitapun akan mengenyam besarnya ganjaran Allah swt di akhirat nanti insya Allah. Amiiien.

Ust. Musyafa Ahmad Rahim, MA

Kamis, 11 Juli 2013

-IGCC- Ibadah Ramadhan ternyata bukan  penghalang bagi sebagian pesepakbola profesional. Kolo Habib Toure, pemain asal Pantai Gading menyatakan kegiatannya tak berbeda saat menjalani ibadah puasa.
Pemain yang kini merumput bersama Liverpool itu mengungkapkan, menjalankan ibadah puasa menguatkan mentalnya. Dan dia menyambut gembira datangnya bulan Ramadan.
Dalam wawancaranya dengan laman resmi klub di Melwood, Toure menyampaikan pentingnya arti puasa bagi dirinya. Ia menyatakan memperoleh banyak manfaat  dengan puasa.
“Anda diwajibkan tidak makan dan minum di siang hari selama 30 hari, mulai dari jam tiga pagi hingga sepuluh malam. Di waktu ini, Anda tidak bisa makan atau minum. Setelah matahari terbenam, Anda baru boleh melakukannya,” ujar Toure.
Menurut Kolo, ia selalu berpuasa di bulan Ramadan sekalipun aktif di sepakbola.
“Tentu saja berat. Tapi ketika Anda percaya kepada Tuhan, tak ada yang tak mungkin,” tambah kakak kandung dari Yaya Toure ini.
Bek sentral yang pernah merumput di Arsenal dan Manchester City ini menambahkan, dengan menjalankan ibadah puasa, secara tidak langsung dirinya meningkatkan sikap displin, dan mengendalikan mental. Ibadah ini juga tidak mengganggu program latihan yang diberikan klub.
“Anda butuh kedisiplinan. Bagi saya, lima hari pertama akan sulit, tapi setelah itu, tubuh sudah mulai beradaptasi, dan Anda merasakan kegembiraan. Bahkan Anda menjadi makin kuat setelah Ramadhan,” jelasnya.
Rencananya, selain tetap berpuasa selama Ramadan, pemain berusia 32 tahun ini juga ingin merayakan Idul Fitri bersama keluarganya di Liverpool, dan menyampaikan ucapan selamat kepada mereka yang menjalankan ibadah puasa.
“Saya akan merayakannya seperti halnya kaum muslim yang lain – bersama keluarga saya, istri dan anak-anak saya,” ucap Toure. [islamedia]

Di Denmark, Puasa Tahun Ini Hingga 21 Jam

-IGCC- Variasi jumlah jam puasa di bulan Ramadan di seluruh dunia tergantung pada wilayah geografis, dan itu akan menjadi Muslim di Eropa pada tahun ini adalah yang tertinggi dalam jumlah jam puasa, yang akan mencapai maksimal 21 jam di Denmark, sementara jam puasa paling sedikit adalah untuk Muslim Argentina 9 setengah jam.

Terlepas dari adanya fatwa dari Al-Azhar Al-Sharif yang memungkinkan negara-negara yang mencapai jam puasa tinggi untuk adopsi negara Muslim terdekat, umat Islam di Denmark sepakat untuk berpuasa dari mulai fajar hingga matahari terbenam (21 jam), seperti yang dinyatakan Hussein Ghiwan, dari Pusat Kebudayaan Islam Kopenhagen.

Jumlah jam puasa di Timur Tengah antara 14 dan 15 jam, seperti yang terjadi di Arab Saudi dan Yaman, tidak berbeda di Afrika Utara, di mana jumlah puasa jam sampai 14 jam di Libya dan Maroko, dan naik ke 16 setengah jam di Kairo, dan meningkat lagi jam puasa di Belanda dan Belgia 18 setengah jam, naik lagi jumlah jam puasa di Islandia 20 jam, dan untuk negara-negara seperti Brazil memiliki 11 jam sedang di Australia 10 jam.

Dan jam puasa tinggi ini bertepatan tahun ini dengan suhu tinggi, yang diperkirakan akan mencapai suhu di negara-negara Teluk hingga 50 derajat. [islamedia/nabdapp]
 
 

Rabu, 10 Juli 2013

Syukurku, Telah Kau Sampaikan Aku Pada Sayyidus Suhur

-IGC- Dua bulan lalu, masih jelas dalam ingatan, di awal Rajab yang syahdu itu, jutaan muslimin di berbagai belahan dunia khusyuk dalam doanya,

“Ya Tuhan kami, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan pertemukanlah kami dengan Ramadhan

Dua bulan pula waktu yang telah dipergunakan untuk menyambut penghulu segala bulan. Mulai dari membiasakan shalat berjamaah di masjid, meningkatkan intensitas tilawatil quran, hingga berlatih melaksanakan puasa di bulan tersebut.

Rindu itu kini terbayarkan sudah. Semerbak Ramadhan telah memenuhi rumah-rumah, masjid-masjid, pusat perbelanjaan hingga jalanan. Wanginya tercium sudah. Senyum  dan salam bertebaran, Suara lantunan tilawah quran bersahutan. Ada syahdu di sana. Pengajian dan majelis ilmu membludak. Membludak jumlahnya, membludak pula jamaahnya. Stasiun TV berlomba untuk tampil seislami mungkin, turut memeriahkan, meski ada kesan komersiil tentunya.

Sanak-kadang berkumpul. Keluarga menyatu di atas meja makan. Canda, tawa dan riuh mengiringi dentingan suara sendok garpu yang beradu dengan piring. Kebersamaan yang mahal bagi sebagian mereka yang tersibukkan dengan rutinitas sehari-hari, menjadi anugerah.

Memberi menjadi ringan, uang tak hanya tersimpan. Kotak-kotak amal penuh, lalu lintas transfer rekening meningkat pesat, para eksekutif turut menyisihkan rekening mereka untuk berderma. Lembaga-lembaga amal berlomba-lomba mengumpulkan dana, untuk disalurkan pada yang tak berpunya tentunya. 

Syukurku, terlantun lirih. Tarawih pertamapun terasa syahdu. 

Namun sejenak aku merenung, linglung. Maukah engkau turut dalam lamunanku kawan?
Ada yang aku khawatirkan, kalau-kalau kesan ini hanya sepintas. Hanya dari penglihatan zhahir yang menipu. Semerbak ini memang terlihat bahkan tercium di keramaian, tapi sudahkah ia mewangi di hati-hati kaum muslimin, di hatiku, di hatimu? Sudahkah ia memenuhi ruang-ruang hati yang telah lama mengeras sebab cintanya ia pada dunia? Rabbanaaghfirlaanaa…

Allah, Yaa Lathiif, lembutkan hati-hati kami untuk senantiasa takut padamu.
Yaa Rahman yaa Rahiim, kasihilah kami hingga kami mencintaiMu, mencintai utusanMu, mencintai kalamMu dan mencintai RamadhanMu ini melebihi cinta kami pada dunia.

Bila Ramadhan ini telah wujud dalam zhahirnya, mari kawan jadikan ia sebagai momentum untuk menghadirkan cinta kita pada Dzat Yang Maha Agung, Maha Perkasa. Baca dan resapi KalamNya yang ia titipkan lewat kekasih kita Muhammad Sallallahu alaihi wasallam.

“Allahumma a’inna ‘alaa tilawatil qur-an,
Allahumma a’inna ‘alaa hifzhil qur-an.”

Cinta itu wujud tatkala engkau sibukkan hatimu untuk mengingat-Nya.
wujud cinta itu kala engkau bersegera memenuhi panggilan-Nya.

Allahu a’lam. (Red)

Selasa, 09 Juli 2013

8 Renungan Menjelang Ramadhan

-IGCC- Ramadhan tinggal menghitung menit Sob. Berikut, setidaknya ada 8 hal yang mesti menjadi renungan buat kita agar Ramadhan kita kelak lebih bermakna. Simak yuk!

Renungan pertama, mari kita renungkan untuk apa Allah menciptakan kita? Jawabannya ada di Adz Dzariyat 56, “Dan tidaklah diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah untuk-Ku”. Jelas, hikmah penciptaan kita adalah beribadah kepada Allah (dalam makna yang luas). Al Imam Nawawi berkata, “Ini adalah penjelasan yang sangat jelas bahwa mereka diciptakan supaya beribadah pada Allah”. Maka kita harus berusaha menjadi sebagaimana pihak yang diciptakan. Kita sadari bahwa dunia akan habis, tidak kekal. Dunia hanya transit sebelum negeri kekal akhirat. Definisi ibadah bahkan mencakup segala hal yang mendatangkan cinta dan ridho Allah baik ucapan/perbuatan, lahir dan batin. Maka ibadah dikenal 2 macam : mahdhah (murni ibadah) dan ghairu mahdhah (semula bukan ibadah, tapi diniatkan untuk mencari ridha Allah, mendatangkan cinta Allah).

Renungan kedua: Kita renungkan betapa Allah telah memberikan nikmat usia hingga kita bisa sampai di detik-detik menjelang bulan mulia ini. Di luar sana, berapa rekan-rekan kita yang telah tiada, sedang Allah masih memberikan kita sisa usia. Sebuah kesempatan untuk membawa bekal, untuk taat. Karena umur adalah modal. Waktu seorang muslim sangat berharga. Mari manfaatkan hidup sebelum datang kematian. Kita manfaatkan sehat sebelum sakit, lapang sebelum sempit, kaya sebelum miskin. Orang terbaik adalah orang yang umurnya panjang dan perbuatannya baik. InsyaAllah.

Renungan ketiga: Pentingnya ikhlas. Amal haruslah ikhlas, jika tidak maka percuma, karena Allah takkan menerima. Jadi, perbaiki niat kita. Kalau tidak ikhlas, terlanjur lelah payah tapi tertolak amalnya. “Orang yang mengamalkan suatu amalan lalu dia menyekutukan Aku dengan yang lain, maka aku tinggalkan ia”. Allah hanya menerima amal yang 100% untuk-Nya. Sebuah hadits, yang cukup menampar kita. Tiga kelompok yang dibakar di neraka oleh Allah, “Orang yang mengajarkan ilmu dan pandai membaca Al Qur’an; Orang yang dermawan; Berperang sampai syahid, ketiganya tidak murni niatnya, sehingga wajahnya ditelungkupkan dan diseret ke neraka. Mereka ingin dipuji didengar, atau amal akhirat digunakan untuk meraih dunia.” Para salafusholeh usai beramal selalu merenung, ‘Allah hanya menerima dari orang bertaqwa’. Maka selalu lah mawas diri, introspkesi diri.

Renungan keempat: Banyak berdzikir pada Allah Swt (Al Ahzab 41-42). Satu amalan yang bisa dijadikan
pegangan, “Lisanmu selalu basah dengan dzikir pada Allah”.

Renungan kelima: Ramadhan merupakan bulan Al Qur’an. Karena itu, bacalah dan pelajari Al Qur’an. Terlalu banyak kebaikan dengan Al Qur’an, takkan ada ruginya. Maka, minimal khatam 1 kali selama Ramadhan. Bacalah dengan tartil, perenungan, tidak cepat-cepat. Tidak akan sengsara orang yang menjadikan Al Qur’an sebagai pegangan hidup.

Renungan keenam: Ramadhan adalah kesempatan berdakwah. Dakwah menjadi warisan akan tugas para Nabi dan Rasul, orang-orang yang berusaha memperbaiki. Ketika Ramadhan, jiwa-jiwa terbuka menerima nasehat. “Sekiranya Allah memberi hidayah kepada seseorang melaluimu itu lebih baik daripada onta merah”. Berdakwah itu lebih bagus, dibanding hanya ibadah diri sendiri.

Renungan ketujuh: Hindari majelis yang sia-sia, tempat yang membuang waktu percuma dan tak ada faedahnya. Karena ini akan menjerumuskan kita pada murka Allah Swt. Isinya hanya ghibah, namimah, berbohong, dll. Sehingga seseorang terlibat dalam maksiat mulut, telinga, dll. Mari perbanyak amal sholeh. Modal kita adalah waktu. “Nikmat yang kebanyakan manusia meremehkannya, yaitu nikmat sehat dan nikmat kesempatan”.

Renungan kedelapan: Mari jadikan Ramadhan sarana memperbaiki diri dan orang-orang sekitar. Allah berfirman dalam At Tahrim 6 , “Hai orang beriman, selamatkan dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Maka, jadikan Ramadhan sebagai sarana dan waktu untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah, dengan rasul, dengan orang tua, dengan masyarakat.”

Mari optimalkan amal baik. Semoga Allah selalu memberkahi setiap detik kita,
Ramadhan dan juga seterusnya. –Sumber: Ust Abdullah Shaleh Hadrami- (disadur dari Buletin An-Nahl, terbitan Rumah Quran Bintaro)

Minggu, 12 Mei 2013

Ramadhan & Cewek (Akhwat Zone)

-IGCC-
Bismillahirrahmanirrahim...

***
Meski berbeda dari segi fisik dan fitrah, pada dasarnya wanita dan pria memiliki kedudukan yang sama di hadapan Sang Khalik sebagai hamba-Nya sekaligus mempunyai peluang yang sama untuk meraih kedudukan mulia di sisi-Nya. Allah yang Maha Adil telah menetapkan sekian banyak keistimewaan yang ada pada laki-laki, begitu juga dengan wanita.Tentu bukan untuk saling mengalahkan satu sama lain, melainkan semata-mata untuk salling mengisi dan saling menyempurnakan. Maka, segala yang telah ditetapkan-Nya bagi kaumlaki-laki dalam urusan ad-Diin, juga ditetapkan untuk kaum wanita. Yups, salah satunya adalah PUASA di bulan Ramadhan

Sejak mula diwajibkannya puasa Ramadhan, tak pernah ada istilah perintah ini hanya diwajibkan bagi kaum laki-laki saja dan tidak wajib bagi wanita (selengkapnya liat di QS. 2: 183-185, tentang kewajiban berpuasa di bulan Ramadhandan masalah-masalah yang berkaitan dengan Puasa Ramadhan, he). Termasuk yang satu ini: khusus bagi para wanita,  ada saat tertentu bagi wanita yang berada pada usia produktif (baligh), yaitu masa haid atau nifas yang membutanya tidak dapat mengerjakan perintah-perintah wajib seperti shalat dan puasa. Tapiii, bukan berarti dengan udzur *halangan*  tersebut kita terhalangi untukmengerjakan amal kebajikan lain yang nilai pahalanya (mungkin) bisa menyamai amalan yang ditinggalkan bukan??? ^^

Terkadang, sebagian dari kita *para wanita* memiliki pemahaman yang keliru yang menganggap bahwa pada bulan Ramadhan, ada bonus khusus istirahat dari aktivitas ibadah ketika waktu haid tiba, hingga akhirnya mereka memanfaatkan waktu jeda itu hanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Bahkan, beberapa dari kaum Muslimah ada yang akhirnya keterusan tidak lagi menjalankan ibadah puasa meski udzur nya telah terhenti, na'udzubillah min dzalik.. *semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan tersebut, aamiin* 

Berikut ini beberapa kebiasaan dan kekeliruan pemahaman yang sering dilakukan para wanita saat Puasa Ramadhan tiba:

Menunda Bersuci
Hal yang sering disepelekan kaum wanita, khusunya remaja muslimah selama bulan Ramadhan adalah waktu bersuci dari haid., hufh! Sekali lagi, mungkin karena pemahaman yang sedikit keliru dengan menganggap masa haid adalah keringanan bagi wanita, sehingga meremehkannya dan ketika terlena, akhirnya menunda-nunda waktu untukmenyucikan diri setelah selesal haid. Padahal, sesungguhnya perkara ini tidak seringan itu, sebab ini menyangkut kewajiban shalat dan puasa. Jika hanya sat uwaktu shalat yang terlewatkan, mungkin itu masih bisa tergantikan sedikit.Namun, bila yang terlewatkan itu  lima waktu bahkan berhari-hari, ditambah lagi dengan waktu yang sangat berharga di hari-hari selama bulan Ramadhan yang terlewatkan, apa jadinya??! Berapa banyak kerugian dan dosa kita? Nastagfirullah....

Saudari Muslimah yang punya kesadaran akan hal ini  tentu tidak akan  membiarkan hal ini terjadi pada dirinya dan saudari-saudarinya yang lain. Oleh sebab itu, sangat penting bag ikita untuk  memperhatikan siklus haid  (terutama yang tidak beraturan) agar tidak terjatuh pada hal yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah. Tentu kita tidak menginginkan enam hari atau tujuh hari bahkan lebih dari Ramadhan terlewatkan sia-sia tanpa arti. Sebelum tiba masanya, sebaiknya kita sudah menyiapakan schedule  amal saleh untuk waktu tersebut. Kalau perlu, sebanyak-banyaknya deh, agar mampu menandingi pahala ketika masa suci. Karena tidak ada batasan untuk beramal baik, asal kita mampu dan tidak menzhalimi diri kita sendiri tentunya.

Puasa, tapi...
Kekeliruan kita dan kaum Muslimin pada umumnya menganggap ibadah puasa hanyalah rutinitas tahunan yang menjadi kewajiban seorang kaum muslimin berupa menahan makan ,minum  dan jima' di siang hari, tidak lebih dari itu. Hingga mudah didapati, ada orang yang berpuasa tapi saling menyakiti, bertengkar,memutuskan silaturrahim, dan sebagainya... Belum lagi, jika yang berpuasa hanya menghabiskan waktunya di depan televisi untuk menikmat tayangan ghibah-tainment  *ngerumpi* (ngutip, he) yang gencar banget nongol di tv, tak kenal waktu. Maka lengkaplah sudah semua perusak ibadah puasa kita. Padahal, Rasulullah Shol'am mengingatkan kita,  

"Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta danamalan yang semisalnya pad saat ia berpuasa, maka Allah tidak butuh daridirinya menahan makan dan minum." (HR. Bukhari)
"Puasa adalah perisai, barangsiapa di antara kalian yangberpuasa, maka hendaklah dia tidak berkata kotor atau berbuat kerusakan. Jikaia cela atau hendaklah dia tidak berkata kotor dan berbuat kerusakan. Jika iadicela dan diajak  bertengkar, maka hendaknya ia menhgatakan: 'aku sedangberpuasa." (Muttafaq 'Alaih) 

Ya, puasa adalah perisai. Pertahanan diri seorang mukmin dari serbuan tipu daya syaithon yang menjerumuskan.. Jadi, hendaklah kita mampu membentengi diri kita dari segala bentuk perbuatan yang dapat mengurangi bahkan menghapuskan pahala ibadah puasa kita.

Duniaku.., Dunia Wanita...
Seseorang yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan sebenarnya tidak dilarang untuk melaksankan segala urusan duniawinya seperti menyiapkan makan, minum, kerja, memberesakan rumah, mencuci gorden, silaturahim, de el el... Selama tidak mengandung unsur pelanggaran syari'at di dalamnya, insya Allah diperbolehkan. Masalahnya, para wanita (khususnya ibu-ibu dan remaja putri) justru kebalikannya.  Yang harusnya mubah, malah menjadi suatu keharusan. Terus, yang menjadi kewajiban,malah  terabaikan.., 
Contohnya saja, urusan menyiapkan makanan  untuk sahur. Karena terlalu lama dan terlalu banyak yang musti disiapain, akhirnya shalat kita jadi tertunda. Mestinya kita bisa Qiyamul Lail dulu, eh, malah jadi qiyam (berdiri, mendirikan) di dapur, hehe :D. Atau waktunya buat tadarus Qur'an, malah terpakai buat mengatur segala macam jenis menu masakan untuk besok.  Belum lagi, urusan persiapan hari raya. Kaum wanita (tak pandang buluh, dari nenek-nenek sampai anak-anak) selalu jadi kaum yang paling sibuk untuk urusan pernak-pernik seputar Lebaran. Mulai dari hunting tempat belanja murah untuk beli kebutuhan pokok, beli baju, penataan rumah, masak kue, dan lain-lain. Ujung-ujungnya, disepuluh malam terakhir yang sangat berharga untuk ibadah, harus terganti dengan kesibukan kita yang mestinya bisa diatur sedemikian rupa. Sayang kan?? -_-'


Akhawatifillah, kurang lebih itulah hal-hal yang seringkali melalaikan kita di bulan Ramadahan. Tentu kita semua mempunyai tekad yang sama, tidak mau terjebak pada kesalahan-kesalahan itu. Jadikan Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terindah kita.. Semoga Allah memperlihatkan kepada kita bahwa yang benar adalah benar, dan menuntun kita untuk tetap berjalan di atas kebenaran itu. Begitu juga dengan yang salah, semoga Allah menjauhkan diri kita dan keluarga kita dari kesalahan2 tersebut, aamiin...
Semangat perubahan menuju perubahan yang lebih baik lagi!!! Fastabiqul Khairat.. :D
Marhaban Ya Ramadhan...

Ramadhan Will Come

-IGCC-
Bismillah....

Ramadhan will come! Tanpa terasa, kurang dari 100 hari lagi, Ramadhan akan datang! :D
Sebagai seorang muslim, seyogianya kita tidak menyia-nyiakan “musim ibadah” dan hendaknya kita termasukorang-orang yang berlomba untuk memanfaatkan musim ibadah tersebut.

“… dan dalam hal itu, maka hendaknya orangberlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifun: 26)

Pada dasarnya,orang-orang yang berkeinginan mulia serta mengikuti jejak semangat kaum salafussaleh akan sangat intensif memanfaatkan musim ibadah tersebut. Dan bagi kita, sesungguhnya di dalam diri Rasulullah saw. terdapat teladan yang bagus. Karena itu, semangatlah menyambut bulan Ramadhan sebagai kesempatan emas untuk melakukanibadah kepada Allah Ta'ala dengan hal-hal berikut Ini:

1. Gembira dan Bahagia dengan Datangnya Ramadhan
Di dalam hadits sahihdisebutkan bahwa Rasulullah saw. Memberikan kabar gembira kepadasahabat-sahabatnya dengan datangnya bulan Ramadhan:
“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuhdiberkahi Allah di dalamnya. Di mana Allah menurunkan rahmat, menghapuskankesalahan-kesalahan dan memperkenankan doa, serta melihat kamu dalamberlomba-lomba di dalamnya, lalu Dia membanggakan kamu kepada malaikat.Maka perlihatkanlah dirimu kepada Allah dengan kebaikan. Sebab sesungguhnyaorang yang celaka adalah orang yang terhalang dari rahmat Allah di dalamnya.”

Janji Allah dan seruanRasulullah saw. itu dimaksudkan untuk memasukkan rasa senang dan bahagia dalamjiwa para pendengarnya.

2. Memperbanyak Do’a
Karena bulan Ramadhanitu bulan yang penuh berkah, hendaknya kita memohon kepada-Nya agar dapat sampaipada bulan Ramadhan dalam keadaan sehat. Dengan nikmat kesehatan, kita akanmampu menjalani ibadah, baik itu puasa, tarawih, dzikir, de el el. Sebab, betapabanyak orang yang menunggu Ramadhan, lalu datang ajal sebelum datangnyaRamadhan.

3. Memahami Ilmu dan Hukum Puasa Ramadhan
Hukum-hukum yangberkaitan dengan puasa Ramadhan termasuk ilmu yang tidak boleh tidak harusdipahami oleh setiap muslim.

“Dan sesungguhnya puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiapindividu, dan dengannya dia harusmengetahui tentang hal-hal yang menjadikannysempurnanya puasa dan yang merusak nilai-nilai puasa. (Ibnu Abdilbar)

Karena itu, sambutlahpuasa itu, dengan mempelajari kitab-kitab yang bermanfaat dan memperjelas apayang ingin kita ketahui tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan bulan suciini. Dan hendaknya juga berupaya mengajarkan hukum-hukum tersebut kepadakeluarga dan lingkungan tetangga yang belum mengetahuinya agar memperolehhikmah.

4. Melatih Diri dengan Puasa Sunah
Dengan membiasakan diri melaksanakan puasa Sunah, insya Allah kita tidak akan terkejut lagi untuk melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Puasa sunah menjadi training dasar bagi kita untuk mempersiapkan kondisi lahir maupun bathin menjelang Ramadhan.

5. Menyusun Program Aktivitas Ramadhan
Jika sudah berlalu,Ramadhan tidak akan kembali, kecuali kita masih diberi kesempatan hingga tahundepan. Karena itu, jangan sampai terlewatkan dengan sia-sia. Untuk mengisinya,lakukanlah aktivitas-aktivitas yang akan mampu merealisasikan tujuan puasaRamdhan (menjadi takwa).

Itulah beberapa kiat yang dapat kita terapkan menjelang Ramadhan. Semoga bermanfaat.. ^_^

Alhamdulillah..,
Selamat menyambutRamadhan 1434 H, semangat!!! :D
(adapted from 30 Masalah Puasa untuk Wanita, Abu Anas HusenAl’Ali, Gema Insani Press)

by Yiyi Al-Mu'awannah II

Kamis, 18 April 2013

Antara Kartini dan Sayidah Aisyah


-IGCC-
Oleh: Reza Ageung S*

KARTINI dan emansipasi, dua kata yang sulit dipisahkan. Di balik riwayat Kartini dengan surat-suratnya yang terkenal dan riwayat gagasan emansipasi yang terinspirasi feminisme dari zaman Pencerahaan, segolongan aktivis feminisme mencoba membajak sejarah untuk kepentingan-kepentingan tertentu, atau menjunjung nilai-nilai tertentu.



Dengan semangat “kesetaraan”, pendekatan legal formal dilakukan, guna mengubah apa yang mereka sebut sebagai “kontruksi sosial” yang merugikan kaum perempuan, atau sistem nilai yang cenderung patriarkis dan berorientasi pembedaaan gender.



Namun Kartini tidak dapat dipanggil kembali untuk sebuah konfirmasi. Isi benaknya tetap tersimpan dalam deretan tulisan sejarah yang ditorehkan orang lain dan tumpukan surat-suratnya kepada Ny. Abendanon, Nn. Stella Zeehandelaar, Ny Marie Ovink Soer, Ir. H. H. Van Kol, Ny. Nellie dan Dr Adriani, sederat lingkaran elit kolonial.


Pertanyaan sederhana sebetulnya adalah : benarkah Kartini memperjuangkan emansipasi, atau hak-hak perempuan atau apapun namanya? Jikapun benar, apakah apa yang diperjuangkan Kartini sama dengan apa yang diperjuangkan kaum feminis hari ini hingga mereka merasa memiliki lisensi untuk mencatut nama Kartini?


Sudah menjadi maklumat kita bersama bahwa kaum feminis hari ini memperjuangkan sebuah sistem nilai yang berkiblat pada Barat.


Perempuan di mata mereka adalah makhluk yang tiada beda dengan laki-laki, kecuali berbeda dalam struktur biologis belaka. Di luar itu, perempuan adalah laki-laki dengan segala haknya hingga dibolehkan, bahkan diharuskan untuk memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang. Arus inilah yang jelas terasa dalam Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang saat ini sedang menanti pembahasan di gedung dewan dan sudah menuai banyak kritikan dari kalangan intelektual muslim. Mengenai mudharat dari RUU ini sudah banyak dibahas dalam banyak tulisan.


Jika memang arus feminisme hari ini adalah tidak lain arus westernisasi yang notabene anti-Islam (bahkan anti-agama), maka Kartini pun akan tervonis sebagai penjaja ide-ide Barat dengan alasan mengkonter nilai adat yang menindas hak-hak kaum wanita. Benarkah begitu?


Kartini dan Islam


Bertolak belakang dari klaim pegiat feminisme, menarik sekali apa yang dipaparkan oleh pakar sejarah Ahmad Mansur Suryanegara tentang sosok Kartini. Dalam bukunya yang fenomenal, Api Sejarah, Ahmad Mansur menulis :

“Dari surat-suratnya yang dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang, ternyata R.A Kartini tidak hanya menentang adat, tetapi juga menentang politik kristenisasi dan westernisasi. Dari surat-surat R.A. Kartini terbaca tentang nilai Islam di mata rakyat terjajah waktu itu. Islam sebagai lambang martabat peradaban bangsa Indonesia. Sebaliknya, Kristen dinilai merendahkan derajat bangsa karena para gerejawannya memihak kepada politik imperialisme dan kapitalisme.”


Kepada E.C. Abandenon, Kartini menulis surat yang berisi penolakannya terhadap misi kristenisasi: “Zending Protestan jangan bekerjasama dengan mengibarkan panji-panji agama. Jangan mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani. Hal ini akan membuat Zending memandang Islam sebagai musuhnya. Dampaknya, semua agama akan memusuhi Zending.”


Di bagian lain Kartini menulis, “orang Islam umumnya memandang rendah kepada orang yang tadinya seagama dengan dia, lalu melepaskan keyakinannya sendiri memeluk agama lain.” Kenapa?, “karena yang dipeluknya agama orang Belanda, sangkanya dia sama tinggi derajatnya dengan orang Belanda.”


Sebuah opini yang lugas bahwa kristenisasi berjalin erat dengan westernisasi dan penanaman nilai-nilai yang memandang rendah bangsa sendiri dan memandang tinggi bangsa penjajah. Masih menurut Ahmad Mansur, Kartini memiliki sikap demikian setelah memperoleh dan membaca tafsir Al-Qur’an. Kekagumannya pada Qur’an ia tulis dalam suratnya kepada E.C. Abandenon : “Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami.” Qur’an ia sebut dengan “gunung kekayaan”.


Sisi ini yang kurang diperhatikan oleh pegiat emasipasi wanita dan feminisme. Bahwa Kartini sebagai sosok pembela hak perempuan dapat saja benar adanya, sebagaima wanita sezamannya Raden Dewi Sartika yang giat memperjuangkan pendidikan, utamanya pencerdasan kaum perempuan bahkan mendirikan Kautamaan Isteri pada tahun 1916. Hanya saja, amat berlebihan jika semangat pembelaan hak dan pencerdasan bangsa ini lantas ditafsirkan sebagai upaya merintis emansipasi, sebagaimana yang dilihat dari kacamata kaum feminis. Secara adil, seharusnya mereka juga melihat sosok Kartini sebagai pembela nilai Islam dari serangan Barat dan perintis pencerdasan perempuan, semua gagasan itu sudah mendapat landasannya dalam ajaran Islam, bukan dalam ajaran Barat.


Namun begitu, bagi umat Islam, sikap yang diperlukan sudah benderang. Kita berpijak dan menjunjung al-Qur’an dan Sunnah. Bagaimanapun sosok sejarah seperti Kartini sangat mudah mengalami multiinterpretasi, apalagi tidak ada seorang pun yang terjamin originalitas semua peninggalan intelektualnya di masa lalu, kecuali Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassalam. Maka, umat Islam tidak wajar jika melabuhkan teladannya pada sosok sejarah sepenuh hati. Ajaran al-Qur’an dan Sunnah mesti tetap menjadi pegangan utama, kacamata satu-satunya memandang dunia. Dengan kacamata ini, maka tidak ada seorang pun yang maksum, setiap sosok sejarah memiliki sisi baik untuk diteladani di samping sisi buruk untuk ditinggalkan. Maka tidak ada satu orang pun yang dapat dijadikan standar kebenaran menandingi al-Qur’an dan Sunnah.

Oleh karena itu, alih-alih Kartini, umat Islam memiliki banyak sosok lain dari gudang keteladanan generasi shahabiyah. Sebut saja Sayidah Aisyah ra, seorang isteri Nabi Shallawahu ‘Alaihi Wassalam sekaligus narator hadits, intelektual perempuan sepanjang zaman. Bagi kaum perempuan umat Islam, sosok ini, dan juga para shahabiyah lainnya, lebih wajar untuk dipanut. Wallahu a’lam.[]


*Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan

Selasa, 16 April 2013

Pintu Hidayah Dari Ar-Rahmah

Oleh: Abdul Fattah Munsyidun.

Matahari dhuha memantulkan sinarnya melewati pohon-pohon rimbun seakan tahu bahwa di pesantren Ar Rahmah ini sedang diadakan taujih bulanan. Langit pagi ini bertahta sangat cerah. Sementara itu di lapangan pesantren seorang Ustadz berdiri berceramah di tengah-tengah jamaah yang begitu antusias menyimak. Tema yang diangkat adalah zinah. Materi ini merupakan materi lanjutan dari materi bulan lalu. Tetapi dengan analogi yang pas, Sang Ustadz berhasil membungkus materi tersebut dengan sangat santun namun tetap tegas.

Ustadz tersebut memang terkenal dekat dengan santri.Walaupun usianya sudah berkepala lima, ia tak ketinggalan zaman. Berita tentang video mesum vokalis band papan atas yang sempat heboh beberapa waktu yang lalu pun diangkatnya dalam ceramah kali ini, yang pada intinya mengingatkan bahwasanya jika manusia tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya, maka ia bisa lebih rendah dari hewan.

Tak terasa waktu satu jam berlalu begitu cepat.
“Ya Allah. Engkaulah yang Maha Menguasai hati kami. Bungkuslah selalu hati kami dengan cahaya hidayah-Mu. Janganlah Engkau hancurkan kami dengan perangkap zinah ya Allah. Engkau telah banyak memberi kami nikmat, maka sempurnakanlah nikmat itu dengan keridhoan-Mu ya Rabb. Jangan tinggalkan kami disaat kami dalam masa-masa suli tmencari jati diri kami. Tuntunlah selalu kami menjadi hamba yang shalih. Aamin Ya Rabbal’alamiin.” Doa Sang Ustadz mengakhiri ceramahnya.

Ustadz Lukman, beliaulah orang yang aku maksud. Pimpinan pondok pesantren ini. Sosok panutanku yang sangat kusegani di pesantren ini. Dan akhir-akhir ini aku sangat ingin berbicara dengan beliau karena ada hal penting yang ingin aku utarakan menyangkut materi ceramah yang  ia sampaikan. Namun karena belakangan ini beliau sibuk aku jadi sulit untuk menemuinya, menurutku inilah waktunya.

Pada saat istirahat, aku langsung memanfaatkannya untuk mendekati Ustadz tersebut. Melihat sikapku yang terkesan agresif, “pengawal” di sampingnya spontan bergerak seakan ingin mencegahku. 

“Ono opo Sal? Mau cari gara-gara lagi di sini?” Rahmat dengan logat jawanya bertanya sinis padaku. 

Di lingkungan pesantren ini, kami menggunakan bahasa Curup sebagai bahasa harian, namun karena suku kami berbeda-beda,  maka tak jarang bahasa selain Curup pun terdengar. Ada orang Jawa, Rejang, Minang, Lembak, dan lain sebagainya. Sehingga ketika Jawa berbicara dengan orang Jawa,mereka berbahasaJawa,begitu juga Rejang, Minang,Lembak,dan lain sebagainya. Kecuali ketika pada hari bahasa, kami diwajibkan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa arab. Kebetulan keluarga Ustadz Lukman dan aku orang Jawa, maka ketika di luar hari bahasa, tak jarang kami berbahasa jawa.

“Ndak, aku hanya mau berbicara dengan Ustadz Lukman, bolehkan ?”
Ustadz Lukman menganggukkan kepala.
“Maaf Tadz, kayaknya ndak sopan kalo aku mengganggu Ustadz makan, saru. Bisakah kita berbicara setelah makan berdua saja?”
“Ora iso!! Abi sibuk, setelah ini beliau mau istirahat.” Potong Rahmat.
Ustadz Lukman menatap putra sulungnya tersebut. Ia pun tertunduk, mungkin malu.
“Apakah ada hal yang penting?” Tanya Ustadz Lukman kepadaku.
“Ss.. Sangat penting Tadz.” Tiba-tiba aku menjadi gugup.
“Baiklah, temui saya setelah acara ini.” Kata Ustadz Lukman.
“Kenapa Abi mau berbicara dengan orang seperti dia?”Rahmat kembali menunjukkan sikap tidak sukanya kepadaku.
“Sepertinya kamu ndak mau kalau Abi bertemu dengan dia,kenapa ?” Selidik Ustadz Lukman.
“Bukannya berprasangka buruk Bi,aku tahu bagaimana sifat Faisal. Umurnya sudah dua puluh tahunan, tapi masih saja berbuat maksiat, merokok, berantem,pokoknya yang buruk-buruk deh Bi. Masa Abi ndak tau sama santrinya sendiri.”Komentar Ramat  sambil melihatku sinis.
“Kamu ngomong ndak berprasangka buruk, tapi dari tadi nadayang kamu ucapkan penuh kecurigaan.”
“Abi jangan salah paham dulu, Rahmat cuma mau ngasih pelajaran aja ke dia. Dia itu playboy Bi, dengan wajahnya yang kayak gitu, dia bisa memikat banyak santriwati di sini. Mendekati zinah juga kan Bi?”

Aku menghela napas mencoba sabar. Rahmat sangat menyebalkan. Mentang-mentang aku hanyalah penjaga kebun pesantren ini, seenaknya saja ia menghinaku. Kalau saja Rahmat bukan anak dari pengasuh pesantren ini,sudah ku tampar mulutnya.

Astaghfirullah!! Aku tersadar. Mungkin ini ujian pertamaku untuk membuktikan bahwa aku benar-benar ingin insyaf. Ya Allah. . . . .
“Tuh kan kamu curiga lagi. Kamu tau banyak, memangnya kamu plototin terus heh? Ndak toh? Kenapa kamu orangnya mudah su’uzhan sih? Abi ndak pernah ngajari kamu seperti ini”. Ku lihat Ustadz Lukman bersikap bijak.
Ustadz Lukman kemudian tersenyum seraya berkata kepadaku.”Mau bicara tentang apa? Kira-kira lama ndak?”
“Lumayan lama sih Tadz, aku mau cerita tentang masalah pribadiku”.
“Ya sudah, nanti ba’da maghrib aja ya kamu temui saya di masjid, karena kalo sekarang saya ndak bisa lama-lama. Kebetulan sudah ini saya ada tamu. Ndak apa-apa kan?”
“Baik Ustadz, ndak apa-apa, maturnuwon.”
Aku pun beranjak pergi meninggalkan Ustadz Lukman dengan perasaan lega dan kembali ke kebun untuk menjalankan rutinitas utamaku di pesantren ini.
****
Qodqomatishholah QOdqomatisholah…
Allahuakbar Allahuakbar laila haillallah……
Kami semua menunaikan sholat maghrib. Ustadz Lukman menjadi imam, kemudian memimpin zikir dan doa. Begitu rutinitas maghrib selesai dilakukan, para santri kembali ke asrama karena hari ini tidak ada acara muhadhoroh.
Aku langsung mendekati Ustadz Lukman, eh ternyata si Rahmat juga. Mungkin dia mau mendengar apa yang ingin aku bicarakan. Terserah, aku tak peduli.

“Ustadz, boleh kita bicara sekarang?”
“Oh ya, boleh. Berdua saja?”  Ustadz Lukman berkata seraya melirik Rahmat.
“Ndak Tadz, kalo Rahmat mau ndengar juga ndak apa-apa”. Ku lihat Rahmat jadi salah tingkah.
“Oh ya udah, monggo, tadi mau ngomong apa?”
“Begini Tadz, saya ini orang yang banyak dosa, saya mau dihukum. Sebenarnya sudah lama saya mau menyampaikan hal ini kepada Ustadz, tapi belum ada kesempatan”. Aku memulai pembicaraan.

“Tunggu, tunggu. Kamu minta dihukum. Saya saja belum tau apa salahmu yang mesti saya hukum. Coba jelaskan dulu, saya mau dengar”.
“Terlalu banyak Tadz dan terlalu besar, saya malu.Kalau Ustadz langsung menghukum saya tentu tidak akan malu da saya siap menerima apaun hukuman dari Ustadz, yang jelas saya telah berbuat dosa Tadz.”

Ustadz Lukman tersenyum, beliau tahu bagaimana sepak terjangku sebelum masuk ke lingkungan pesantren ini. Mudah-mudahan beliau masih memberikanku kesempatan untuk ku memperbaiki diri.

“Kenapa malu? Apa kamu kira saya akan menceritakannya ke semua orang?”
“Bukan begitu Tadz, tapi. . .”
“Mm.. Kalau begitu kamu bisa tetap merahasiakanya, jadi kamu ndak perlu dihukum.”

Gerakan Ustadz Lukman yang seolah-olah akan berdiri membuatku menjadi kelabakan.

“Eh…Jangan pergi dulu Tadz, kalau Ustadz pergi lantas siapa yang akan menghukum saya?’ Aku mencoba menahannya.
“Apa yang perlu saya hukum?” Lagi-lagi Ustadz Lukman membuatku merasa serba salah.
Suasana hening sesaat. Rahmat hanya menyimak.
“Tapi kalau saya ngomong apa adanya, tentu Ustadz akan menghukum saya,”
“InsyaAllah ndak. Rasul aja ndak pernah marah walau kaum kafir quraisy sangat membencinya. Difitnah, dilempari kotoran unta, bahkan diancamakan dibunuh Rasul tetap tidak marah. Saya ndak lebih baik dari Rasul sehingga berhak memarahi kamu padahal kamu mau tobat.”
“Ustadz yakin?”
“InsyaAllah”, jawabnya mantap.
“Tadz, saya pernah minum bir. Apakah saya bisa diampuni Allah?”

Ustadz Lukman tersenyum seraya berkata,”Kamu bisa diampuni atau tidak itu urusan Allah,yang pasti jalan taubat selalu terbuka dengan taubat yang sebenar-benarnya”.

“Kalau yang ini Ustadz pasti tau, saya dulu suka mencopet dan mencuri, bagaimana Tadz?”
“Ya ya. Kalau yang ini lain lagi, kamu bukan hanya harus memohon ampun kepada Allah, tetapi juga harus meminta maaf kepada orang yang barangnya telah kamu curi dan meminta keridhoan kepada pemilik barangnya, syukur-syukur kamu bisa mengganti barangnya”. Ucapan beliau cukup menemtramkan hatiku. Sepengetahuanku beliau orangnya cukup bijaksana. 

“Bukan itu saja Tadz, saya juga pernah melakukan zinah. Ini yang sangat menjadi beban fikiran saya. Saya takut Allah ndak mau mengampuni saya. Saya juga malu kalo sampai nanti bertemu dengan orangnya”, tak terasa aku menjelaskannya kepada Ustadz Lukman dengan mata mulai merembeskan air mata.

“Sebenarnya dosa ini tergolong besar. Tapi jika kamu benar-benar ingin bertaubat, mudah-mudahan Allah berkenan mengampunimu.”
“Tapi bagaimana jika keluarganya tidak ridho Tadz?”
“Itu sebenarnya hak keluarganya, karena kamu telah membuat aib pada mereka. Kamu harus bertanggung jawab, mintalah maaf kepada keluarganya. Allah ndak akan meridhoimu jika kamu tidak meminta keridhoan kepada keluarganya”.

Penjelasan Ustadz Lukman benar-benar membuat hatiku miris. Aku benar-benar ingin membersihkan dirikudari dosa-dosa. Dari dosa besar hingga dosa yangterkecil sekalipun. Namun baru saja aku hendak membersihkannya, kebimbangan datang mempengaruhiku. Apakah aku pantas bertemu lagi dengannya?Apakah ayahnya mau memaafkan aku? huff. . entahlah.

Dengan linangan airmata disertai sesenggukan, aku menyampaikan keluh kesahku. Mulai dari pengalamanku setahun yang lalu ketika aku luntang-lantung di jalanan, mencoba mencopet Ustadz Lukman di pasar tengah, ketahuan tukang parkir,dihajar massa, hingga akhirnya Ustadz Lukman justru memaafkan aku dan menyelamatkanku dari amukan massa, bahkan aku yang ketika itu gelandangan, diberikannya pekerjaan mengurus kebun pesantren ini. Aku ceritakan kembali walaupun akuyakin Ustadz Lukman tidak membutuhkannya.

Mungkin Ustadz Lukman tidak mengerti apa yang aku katakan, karena aku mengatakannya sambil terisak hingga beliau menyetop curhatku,” baik, baik. Begini saja, saya akan membantu kamu menemui keluarga itu, berusaha memintamaafkan kepada mereka. Tapi sekali lagi, dimaafkan atau ndak adalah hak mereka. Saya hanya berusaha semampu saya. Akan saya katakan bahwa kamu benar-benar menyesal dan ingin sekali meminta keridhoan mereka. Atau kalau kamu siap, sya juga akan mengatakan bahwa kamu siap menikahinya.Gimana? Mau?”

Aku hanya diam, tak tahu harus berkata apa.
“Sekarang sebutkan saja siapa yang kamu zinahi? Siapa tahu saya kenal dengan keluarganya”. Lanjut Ustadz Lukman.

Aku masih diam, belum menemukan kata-kata yang tepat.
“Ya ya ya. . . Saya bisa menebak apa yang sedang berkecamuk dalam hatimu. Memang sulit untuk meminta keridhoan keluarga dalam masalah ini. Tapi kita coba dulu, siapa tahu melihat kesungguhanmu mereka akan mau memaafkan”. Ustadz Lukman berbicara kepadaku penuh dengan kasih sayang, seakan-akan aku adalah anaknya sendiri.

Beliau kemudian memegang kedua bahuku,” Sekarang katakan ngger, sopo toh orangnya?”
“Tapi bener Ustadz ndak marah?”
“InsyaAllah.
“O…orang yang sa..saya zinahi adalah A..annisa Tadz, putri Ustadz sendiri”.
“Opo??!!!”  Rahmat yang sedari tadi hanya diam, sekarang langsung membentak.
“Ueedan!! Beraninya kamu menzinahi adikku!! Dasar wong ora tau diuntung!! Udah bagus kamu tu ditolong Abiku!! Kalo nggak  sekarang  masih jadi gembel kue!!
“Rahmat!! Jaga ucapanmu!!” Ustadz Lukman menatap anaknya dalam-dalam. 
Rahmat terdiam.

Aku tak tahu apakah ucapanku salah, aku berusaha mencari kata-kata yang tepat, tapi lidahku kaku.
Aku diam. Ustadz Lukman diam. Rahmat diam. Sesaat lamanya kami diam.
Setelah beberapa saat kami sama-sama diam, ku dengar Ustadz Lukman beristighfar.

“Astaghfirullahal’azim. A’uzubillahiminasyaithanirrojim.”
“Saya mengerti Tadz,sangat mengerti. Mana ada orang tua yang sudi menikahkan anaknya kepada pemuda seperti saya. Antara saya dan Annisa jauh berbeda, Annisa cantik dan sholehah. Sementara saya,tidak ada yang bisa diharapkan dari saya yang hanya sebagai penjaga kebun ini. Akhlak saya bejat. Orang tua dan family pun saya ndak punya.” Sepertinya air mataku akan menetes lagi.
Afwan Tadz, asif  jiddan,  saya ndak mau membebankan Ustadz dengan masalah ini. Sekali lagi, saya hanya ingin Allah mau mengampuni saya. Kalaupun untuk itu mesti nyawa taruhannya saya siap. Silahkan hukum saya Tadz.”

Ustadz Lukman hanya diam, aku tak tahu apa yang ada di benaknya. Mungkin beliau menyesal mengapa waktu itu telah menolong aku dan membawaku ke lingkungan pesantren ini. Jika waktu itu beliau tidak menolongku, mungkin semua ini tidak akan terjadi.Tapi ntahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku tak berani menatap wajah Ustadz Lukman.

Setelah sesaat lamanya diam, beliau kemudian menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

“Begini saja, saya akan coba membicarakan masalah ini kepada Umminya, kemudian nanti shalat istikharah dulu.” Kata Ustadz Lukman mencoba tenang.
“Sekarang saya mau tau,gimana kamu bisa bertemu dengan Annisa?”
Aku berusaha mengingat-ingat kembali kejadian itu,” Kejadian ini terjadi empat hari yang lalu Tadz.Pada saat itu saya sedang merumput di bawah pohon pepaya. Kemudian datang dua orang gadis cantik berkerudung yang belakangan saya ketahui salah satunya adalah Annisa dan yang satu lagi dalah temannya. Annisa meminta salah satu pepaya yang telah masak. Katanya mau disajikan untuk tamu Ustadz yang baru datang dari Kota Bengkulu.”

“O iya, itu memang saya yang menyuruhnya.” Kata Ustadz Lukman.
“Pada saat itu saya ambilkan pepayanya karena pohonnya cukup tinggi. Ketika saya memberikan pepaya tersebut, Annisa tersenyum kepada saya sehingga saya jadi salah tingkah.”
“Cukup!! Jangan diteruskan!”Potong Rahmat
“Sekarang ceritakan, sejak kapan kalian mulai akrab?” Rahmat melanjutkan dengan pertanyaan.
“Akrab??” Kami ndak sampai akarab Tadz, kami hanya pernah ketemu beberapa kali saja.” Aku mengembalikan pembicaraan kepada Ustadz Lukman.
“Opo?! Baru bertemu beberapa kali saja sudah berani berzinah? Berapa kali kalian berzinah?” Rahmat mengepalkan tinjunya.
“Cuma sekali, itupun ndak sengaja”.
“Heh! Jangan pernah bilang kalau zinah itu tidak sengaja. Karena yang namanya zinah terjadi atas kesengajan dari nafsu.” Nada bicara Rahmat kembali meninggi.
“Rahmat!! Jaga emosimu!!” Ustadz Lukman kembali menenangkan Rahmat.
“Kapan kamu berzinah dengan putri saya?”
“Ya itu tadi Tadz, berawal dari saya yang salah tingkah itu tadi”.
Maksud kue opo toh?! Ojo muter-muter!. Coba jelaskan lagi”. Lagi-lagi Rahmat membentakku.
“Ketika saya memberikan pepaya tersebut, saya salah tingkah melihat senyumnya. Lantas saya langsung menundukkan pandangan saya dan tidak melihat ia lagi, tanpa sadar saya tersentuh tangannya. Itulah pertama kali saya menyentuh Annisa, saya khilaf. Saya berjanji pada Allah itulah terakhir kali saya berzinah. Saya ndak mau mengulanginya lagi.”
“Eh tunggu! Jadi yang kamu maksud perzinahan itu. . . .”

“Allahuakbarullahuakbar!!!”.
Belum selesai Ustadz Lukman menyelesaikan pertanyaannya, Udin si takmir masjid mengumandangkan adzan isya’.
***

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...