Secara bahasa himmah biasa diartikan cita-cita. Namun bila kita dalami dan kita selami maknanya, ia bisa berarti sesuatu yang senantiasa hangat dan ada dalam pikiran kita.
Di siang hari, ia senantiasa dipikirkan, di malam hari, ia terus
diimpikan. Ia terus ada dan menyatu dengan jiwa, kemanapun pergi, ia
selalu di bawa. Dimanapun berdiam, ia tidak lantas tiada. Ia terus
mewarnai setiap langkah dan gerak, atau istilah shufi-nya: ia selalu
muncul dalam setiap sakanat dan harakat kita.
Himmah juga mempunyai keterkaitan dengan kata hamm yang bentuk jamak (plural)-nya adalah humum yang secara mudah biasa diterjemahkan: kesedihan. Ia memang demikian, artinya: seseorang yang mempunyai himmah sesuatu, ia akan terus merasa sedih dan tidak akan (bahkan tidak mau) mengecap sedikit kebahagiaan manakala apa yang menjadi himmah-nya itu belum kesampaian. Dan puncak kebahagiaannya adalah saat ia berhasil mewujudkan apa yang menjadi himmah-nya itu.
Bila da'wah telah kita definisikan sebaai upaya untuk mempengaruhi, dan mengajak mad-'u ke jalan Allah swt, jalan Islam, jalan nabi Muhammad saw, maka himmah
seorang da'i bisa kita artikan sebagai kesedihan sang da'i dan
ke-"tidak-mauannya" untuk mengecap sedikitpun kebahagiaan manakala belum
berhasil membawa seorang manusiapun kepada jalan hidayah, jalan Allah
swt, jalan para nabi, shiddiiqin, syuhada' dan shalihin. Ia baru merasa
puas, bahagia, dan gembira manakala telah berhasil menjadi penyebab
terhidayahinya seorang manusia untuk memeluk Islam, hidup dengannya dan
mati dengan tetap menyandang predikat muslim.
Namun, sebagai seorang muslim yang menyadari perannya sebagai ujung tombak khaira ummatin ukhrijat linnaas, yang salah satu karakternya adalah ta'muruuna bil ma'ruuf watanhauna 'anil munkar, himmah sang da'i itu tidak berhenti manakala telah sukses menjadi penyebab terhidayahinya satu orang. Himmah itu akan kembali muncul dalam dirinya dan akan terus muncul sehingga ia kembali kepada Allah swt.
Himmah seperti ini telah digambarkan oleh beberapa kisah yang ada di dalam Al Qur'an.
Diantaranya adalah kisah burung Hud-Hud-nya nabi Sulaiman 'alaihis-salam.
Al Qur'an menceritakan bahwa burung yang kecil itu, yang tidak mampu
terbang jauh, telah melakukan perjalanan yang sangat jauh, dari
Palestina (negeri nabi Sulaiman 'alaihis-salam) ke negeri Saba' di Yaman
(negerinya ratu Bilqis). Ia telah lalui hamparan padang pasir yang
sangat luas, yang tidak mungkin berani melampauinya kecuali ash-habul
himam al 'aaliyyah (pemilih himmah tinggi). Jangankan seekor burung
Hud-Hud, manusia saja ngeper dan berpikir berkali kali untuk
mengarunginya. Bukankah yang akan dilewatinya adalah padang pasir, yang
sangat panas, sedikit air, sedikit makanan, dan kekerasan-kekerasan alam
lainnya. Namun dengan semangat membaja, sang burung kecil itu melakukan
perjalanan sejauh itu, dengan satu tujuan: memberi informasi kepada
nabi Sulaiman 'alaihis-salam tentang negeri-negeri lain, yang bisa jadi,
ia akan menjadi penyebab berimannya penduduk negeri itu.
Karena jaraknya yang sangat jauh, dan tentunya membutuhkan waktu lama
untuk menempuhnya, maka sang burung itu absen dan tidak menghadiri
majlis nabi Sulaiman 'alaihis-salam dalam waktu yang cukup lama. Dan
karena absen terlalu lama, ketidakmunculannya itu menjadi tanda tanya
nabi Sulaiman 'alaihis-salam.
Singkat cerita, akhirnya sang burung kecil itu muncul juga dan menyampaikan informasi yang didapatnya.
Untuk membuktikan kebenaran informasinya, sang burung mesti terbang ke
negeri itu sekali lagi. Sungguh, himmah yang luar biasa. Dan tidak
sia-sia, penduduk negeri Saba' itu akhirnya tunduk kepada nabi Sulaiman
dan meninggalkan kemusyrikannya.
(Lihat kisah lengkapnya di QS An-Naml [27]: 16 – 44).
Ada lagi cerita lain yang tidak kalah menariknya. Kisah seorang lelaki,
ya ... seorang lelaki, yang tidak dikenal, bahasa Al Qur'annya: Rojulun, yang datang dari aqshal madinah
(wilayah kota yang paling ujung, paling jauh), yang datang dengan yas'a
(berlari) demi memberikan pembelaan kepada rasul-rasul Allah swt. Dan
karena pembelaannya itu ia dibunuh oleh kaumnya.
Di alam akhiratnya, ia merasakan betapa besar kenikmatan yang
didapatkannya dari Allah swt. Lelaki yang dibunuh oleh kaumnya ini masih
mengingat kaumnya, bukan dalam rangkan dendam, akan tetapi ... ungkapan
empatinya yang sangat dalam kepada kaumnya, namun sayang, kaumnya tidak
mengetahuinya. SubhanaLlah, sudah meninggal dunia, sudah di alam lain,
himmah-nya sebagai da'i tidak padam juga. Sehingga meluncurlah kata-kata
dari lisannya: ya laita qaumi ya'lamuun. Bima ghofaro li robbi wa
ja'alani minal mukromin.
(kisah lengkapnya silahkan lihat di QS Yaa siin [36]: 13 – 30).
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah ...
Masyarakat kita mayoritas adalah masyarakat muslim, diantara mereka ada yang membutuhkan tastsbit (pengokohan), dzikro
(pengingatan), nasehat dan semacamnya. Untuk menjalankan tugas-tugas
ini, sangat-sangat dibutuhkan adanya orang-orang yang memiliki himmah 'aaliyyah (himmah yang sangat tinggi), karenanya, asahlah himmah
kita, barangkali akan ada satu dua orang yang terhidayahinya kepada
jalan Islam, jalan Allah swt, dan kitapun akan mengenyam besarnya
ganjaran Allah swt di akhirat nanti insya Allah. Amiiien.
Ust. Musyafa Ahmad Rahim, MA
Ust. Musyafa Ahmad Rahim, MA
0 komentar:
Posting Komentar
tinggalkan komentar anda di sini